Minggu, 29 April 2018

Video Materi Al-qur'an Hadis Madrasah Aliyah kelas X semester ganjil

Materi Al-qur'an Hadits Madrasah Aliyah kelas X semester Ganjil

BAB I
AL-QUR’AN KITAB-KU

A.      Pengertian Al-Qur’an
Para ulama’ dan pakar/ahli dalam bidang ilmu Al-Qur’an telah mendefinisikan Al-Qur’an menurut pemahaman mereka masing-masing, baik secara etimologi maupun terminologi.
Secara etimologi para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa pendapat tersebut.
a.       Menurut Al-Lihyany (w. 215 H) dan segolongan ulama lain
Kata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il), قَرَأَ artinya membaca, dengan perubahan bentuk kata/tasrif (قَرَأَ-يَقْرَأُ-قُرْءَانًا). Dari tasrif tersebut, kata قُرْءَانًا artinya bacaan yang bermakna isim maf’ul (مَقْرُوْءٌ) artinya yang dibaca. Karena Al-Qur’an itu dibaca maka dinamailah Al-Qur’an. Kata tersebut selanjutnya digunakan untuk kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw.  Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT sebagaimana yang termaksud dalam QS. al-Qiyamah ayat 17-18.
      Artinya:
17. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.
18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
b.      Menurut Al-Asy’ari  (w. 324 H) dan beberapa golongan lain
Kata Qur’an berasal dari lafaz قَرَنَ yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai nama Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya dan huruf-hurufnya beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lain.
c.       Menurut Al-Farra’ (w. 207 H)
Kata Qur’an berasal dari lafak قَرَائِنٌ merupakan bentuk jama’ dari kata قَرِيْنَةٌ yang berarti petunjuk atau indikator, mengingat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling membenarkan. Dan kemudian dijadikan nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
d.      Menurut Az-Zujaj (w. 331 H)
Kata Qur’an itu kata sifat dari اَلْقَرْءُ yang sewazan (seimbang) dengan kata فُعْلاَنٌ  yang artinya الْجَمْعُ (kumpulan). Selanjutnya kata tersebut digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., karena Al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
e.       Menurut Asy-Syafi’i (w. 204 H)
Kata Al-Qur’an adalah isim ’alam, bukan kata bentukan (isytiqwq) dari kata apapun dan sejak awal memang digunakan sebagai nama khusus bagi kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana halnya dengan nama-nama kitab suci sebelumnya yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh Allah SWT. sama halnya nama kitab suci sebelumnya, yaitu Zabur (Nabi Dawud as.), Taurat (Nabi Musa as.) dan Injil (Nabi Isa as.). Menurut Abu Syuhbah dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an al-Karrm, dari kelima pendapat tersebut diatas, pendapat pertamalah yang paling tepat yakni menurut Al-Lihyany yang menyatakan bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata bentukan (isytiqaq) dari kata  قَرَأَdan pendapat inilah yang paling masyhur.
   Ditinjau dari pengertian secara terminologi, para ulama’ juga berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan Al-Qur’an. Perbedaan itu terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan sudut pandang dan perbedaan dalam menyebutkan unsur-unsur, sifat-sifat atau aspek-aspek yang terkandung di dalam Al-Qur’an itu sendiri yang memang sangat luas dan komprehensif. Semakin banyak unsur dan sifat dalam mendefinisikan Al-Qur’an, maka semakin panjang redaksinya. Namun demikian, perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat prinsipil, justru perbedaan pendapat tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga jika pendapat-pendapat itu digabungkan, maka pemahaman terhadap pengertian Al-Qur’an akan lebih luas dan komprehensif. Beberapa pendapat ulama’ mengenai definisi Al-Qur’an secara terminologi di antaranya adalah:
a.       Syeikh Muhammad Khuiari Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islwm, Syeikh Muhammad Khuiari Beik mengemukakan definisi Al-Qur’an sebagai berikut:
اَلْقُرْءَانُ هُوَ اللَّفْظُ الْعَرَبِيُّ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلتَّدَبُّرِ وَالتَّذَكُّرِ الْمَنْقُوْلُ مُتَوَاتِرًا وَهُوَ مَا دَفَّـتَيْنِ الْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَـاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّـاسِ
Artinya: Al-Qur’an ialah lafaz (firman Allah) yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Muhammad SAW., untuk dipahami isinya dan selalu diingat, yang disampaikan dengan cara mutawatir, yang ditulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fwtihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
b.      Subkhi aalih
      Subkhi aalih mengemukakan definisi Al-Qur’an sebagai berikut :
اَلْقُرْءَانُ هُوَ الْكِتَابُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
Artinya:
Al-Qur’an adalah kitab (Allah) yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara mutawatir, dan bernilai ibadah membacanya.
c.       Syeikh Muhammad Abduh
Sedangkan Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur’an dengan pengertian sebagai berikut :
اَلْكِتَابُ هُوَ الْقُرْءَانُ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَحْفُوْظُ فِيْ صُدُوْرِ مَنْ عَنَى بِحِفْظِهِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Artinya:
Kitab (Al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang terpelihara di dalam dada orang yang menjaga(nya) dengan menghafalnya (yakni) orang-orang Islam.
     Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian Al-Qur’an sebagai berikut :
a.     Al-Qur’an adalah firman atau kalam Allah SWT.
b.    Al-Qur’an terdiri dari lafaz berbahasa Arab
c.     Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
d.    Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mengandung mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril.
e.     Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan).
f.      Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah.
g.    Al-Qur’an ditulis dalam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas
h.    Al-Qur’an senantiasa terjaga/terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian orang Islam yang menjaganya dengan menghafal Al-Qur’an.
B.       Nama-nama Al-Qur’an
Nama Al-Qur’an bukanlah satu-satunya nama yang diberikan Allah Swt. terhadap kitab suci yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Menurut Az-Zarkasyi dan As-Suyuhy dalam kitab Al-Itqwn menyebutkan bahwa Al-Qur’an mempunyai 55 nama. Bahkan dalam Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, disebutkan ada 78 nama-nama bagi kitab suci Al-Qur’an. Namun, jika diperhatikan dan dicermati lebih lanjut berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an secara redaksional, maka akan didapatkan beberapa nama saja, yang lainnya bukanlah nama melainkan hanya sifat, fungsi atau indikator Al-Qur’an. Beberapa nama Al-Qur’an tersebut adalah:
d.       Al-Qur’an (اَلْقُرْءَانُ)
Al-Qur’an merupakan nama yang paling populer dan paling sering dilekatkan pada kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, Al-Qur’an artinya bacaan atau yang dibaca. Adapun beberapa ayat yang di dalamnya terdapat istilah Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
·      (QS. al-Baqarah [2]: 185) Artinya : Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). …..”
·      (QS. al-A’rwf [7]: 204) Artinya : Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.
·      (QS. Thwha/20: 2) Artinya : Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah
            Di samping nama Al-Qur’an yang telah disebut dalam ayat-ayat di atas masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat nama Al-Qur’an, seperti : QS. Yunus [10]: 37, QS. al-Hijr [15]: 87, QS. an-Nahl [16]: 97, QS. al-Hijr [17]: 9, QS. al-Hasyr [59]: 21, dan QS. al-Buruj [85]: 21.
e.       Al-Kitwb (اَلْكِتَابُ)
Al-Qur’an sering disebut sebagai Kitwbullah artinya kitab suci Allah. Al-Kitwb juga bisa diartikan yang ditulis.
f.        Al-Furqwn (اَلْفُرْقَان)
Al-Furqwn artinya pembeda, maksudnya yang membedakan antara yang haq dan yang batil. Al-Furqan merupakan salah satu nama Al-Qur’an.
g.      Ak- jikr (اَلذكْر)
Ak-jikr berarti pemberi peringatan, maksudnya yang memberi peringatan kepada manusia.
h.      At-Tanzrl (اَلتَّنْزِيْلُ)
At-Tanzrl artinya yang diturunkan, maksudnya Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaan malaikat Jibril as. untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia.
C.      Perilaku Orang yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah Swt, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia. Kita sebagai seorang muslim harus meyakini tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar.
Sebagai seseorang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an kita harus memiliki budi pekerti yang luhur karena Al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
Sebagai seorang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an kita harus melaksanakan ibadah karena Al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
Sebagai seorang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an kita harus bergaul dengan sesama dengan baik sebab Al-Qur’an berisi tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.

BAB II
BETAPA OTENTIKNYA KITAB-KU

1.      Al-Qur’an Merupakan Mu’jizat
Secara etimologi kata Mu’jizat berbentuk isim fw’il yang berasal dari kata:
اَعْجَزَ – يُعْجِزُ – اِعْجَازً – مُعْجِزٌ / مُعْجِزَةٌ
yang berarti melemahkan atau mengalahkan lawan. Mu’jizat juga diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi tradisi atau kebiasaan (sesuatu yang luar biasa).
Secara terminologi, Manna’ Qahhan mendefinisikan mukjizat sebagai berikut:
اَلْمُعْجِزَةُ هِيَ اَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَـادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّى سَالِمٌ عَنِ الْمُعَارَضَةِ
Mu’jizat adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan disertai dengan tantangan dan selamat dari perlawanan.
 Mu’jizat hanya diberikan oleh Allah Swt. kepada para Nabi dan Rasul-Nya dalam menyampaikan risalah Ilahi terutama untuk menghadapi umatnya yang menolak atau tidak mengakui kerasulan mereka. Mu’jizat berfungsi sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan mereka, bahwa mereka adalah benar-benar para nabi dan rasul (utusan) Allah yang membawa risalah kebenaran dari Allah Swt. Adapun tujuan diberikannya mu’jizat adalah agar para Nabi dan Rasul mampu melemahkan dan mengalahkan orang-orang kafir yang menentang dan tidak mengakui atas kebenaran kenabian dan kerasulan mereka.
Secara umum mu’jizat para Nabi dan Rasul itu berkaitan dengan masalah yang dianggap mempunyai nilai tinggi dan diakui sebagai suatu keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu. Misalnya, zaman Nabi Musa as. adalah zaman keunggulan tukang-tukang sihir, maka mu’jizat utamanya adalah untuk mengalahkan tukang-tukang sihir tersebut. Zaman Nabi Isa as. adalah zaman kemajuan ilmu kedokteran, maka mu’jizat utamanya adalah mampu menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan pengobatan biasa, yaitu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan dan orang yang berpenyakit sopak atau kusta, serta menghidupkan orang yang sudah mati. Dan zaman Nabi Muhammad Saw. adalah zaman keemasan kesusastraan Arab, maka mu’jizat utamanya adalah Al-Qur’an, kitab suci yang ayat-ayatnya mengandung nilai sastra yang amat tinggi, sehingga tidak ada seorang manusiapun dapat membuat serupa dengan Al-Qur’an.
2.      Syarat-syarat Mu’jizat
Suatu kejadian atau peristiwa dikatakan sebagai mu’jizat apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a.       Mu’jizat adalah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh siapapun selain Allah Swt.
b.      Mu’jizat adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan atau tidak sesuai dengan kebiasaan dan berlawanan dengan hukum alam.
c.       Mu’jizat harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seseorang yang mengaku membawa risalah Ilahi sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
d.      Mu’jizat terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mu’jizat tersebut.
e.       Tidak ada seorang manusiapun, bahkan jin sekalipun yang dapat membuktikan dan membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Kelima syarat tersebut di atas bila terpenuhi, maka suatu hal yang timbul di luar kebiasaan adalah merupakan mu’jizat yang menyatakan atas kenabian atau kerasulan orang yang mengemukakannya dan mu’jizat akan muncul dari tangannya.
3.      Macam-macam Mu’jizat
Mu’jizat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a.       Mu’jizat oissi, ialah mu’jizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dan atau dirasa oleh lidah, tegasnya dapat dicapai dan ditangkap oleh pancaindera. Mu’jizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan akal fikirannya, yang tidak cakap padangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaanya. Karena bisa dicapai dengan panca indera, maka mu’jizat ini bisa juga disebut mu’jizat inderawi.
Mu’jizat pissi ini dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan kepada umat tertentu dan di masa tertentu.
b.      Mu’jizat ma’nawi ialah mu’jizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indera, tetapi harus dicapai dengan kekuatan “’aqli” atau dengan kecerdasan pikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mu’jizat ma’nawi ini melainkan orang yang berpikir sehat, cerdas, bermata hati, berbudi luhur dan yang suka mempergunakan kecerdasan fikirannya dengan jernih serta jujur. Karena harus menggunakan akal fikiran untuk mencapainya, maka bisa disebut juga mu’jizat ‘aqli atau mu’jizat rasional.
Berbeda dengan mu’jizat pissi, mu’jizat ma’nawi bersifat universal dan eternal (abadi), yakni berlaku untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.
4.      Pengertian I’jazul Qur’an
Jika kata mu’jizat dilekatkan dengan kitab suci Al-Qur’an, ia bisa memiliki dua konotasi. Pertama, lemahnya manusia untuk merumuskan suatu ungkapan atau kalimat yang dapat menandingi ayat-ayat Al-Qur’an, baik secara individual maupun secara kolektif. Kedua, ia mempunyai sifat menantang manusia dan jin untuk membuat semacam Al-Qur’an, sampai munculnya kesadaran mereka untuk mengakui kelemahan diri sendiri ketika berhadapan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud i’jazul Qur’an adalah menetapkan kelemahan manusia dan jin baik secara individual maupun kolektif untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an.
Mu’jizat Al-Qur’an bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran pada manusia bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt. dan sekaligus merupakan bukti kerasulan Muhammad Saw.
Dalam hal ini Imam al-Suyuti, sebagaimana dikutip oleh Dr. Syahrin Harahap, MA., mengungkapkan bahwa :
“Adanya i’jaz Al-Qur’an itu ada kaitannya dengan persepsi yang salah dari pihak orang Arab terhadapnya. Sehingga Al-Qur’an memberi jawaban terhadap persepsi mereka yang keliru itu, dengan cara nenawarkan agar mereka menunjukkan kekuatan argumentasi dan kebenarannya. Akan tetapi orang Arab sama sekali tidak dapat membuktikan kebenaran mereka, sementara Al-Qur’an secara meyakinkan menunjukkan kebenarannya. Di sinilah letak i’jaz (kemu’jizatan) Al-Qur’an itu.”
5.      Aspek-aspek Kemu’jizatan Al-Qur’an
I’jaz Al-Qur’an sesungguhnya terdapat dalam dirinya sendiri. Tegasnya kemu’jizatan Al-Qur’an ada dalam kandungannya, bukan di luarnya. Jadi, kitab suci ini tidak membutuhkan keterangan lain di luar dirinya untuk membuktikan bahwa ia adalah mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Saw.
Secara garis besar ada dua aspek kemu’jizatan Al-Qur’an yaitu:
a.       Gaya Bahasa (Uslub)
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas yang tidak dapat ditiru para sastrawan Arab sekalipun, karena susunan yang indah yang berlainan dengan setiap susunan dalam bahasa Arab. Mereka melihat Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz mereka, tetapi ia bukan puisi, prosa atau syair dan mereka tidak mampu membuat seperti itu (meniru Al-Qur’an). Mereka tidak pernah mampu untuk menandinginya dan putus asa lalu merenungkannya, kemudian merasa kagum dan menerimanya, lalu sebagian masuk Islam. Contoh dalam sejarah diterangkan bahwa Umar bin Khattab ra. menyatakan diri masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat pertama surat Thwha, dan masih banyak contoh lainnya. Inilah bukti kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi bahasanya.
Uslub Al-Qur’an sangatlah indah. Keindahan uslub Al-Qur’an benar-benar telah membuat orang-orang Arab dan atau luar Arab kagum dan terpesona. Di dalam Al-Qur’an terkandung nilai-nilai istimewa di mana tidak akan terdapat dalam ucapan manusia menyamai isi yang terkandung di dalamnya.
Al-Qur’an dalam uslubnya yang menakjubkan mempunyai beberapa keistimewaan-keistimewaan, di antaranya :
1)      Kelembutan Al-Qur’an secara lafziah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasanya.
2)      Keserasian Al-Qur’an baik untuk awam maupun kaum cendekiawan, dalam arti bahwa semua orang dapat merasakan keagungan dan keindahan Al-Qur’an
3)      Sesuai dengan akal dan perasaan, di mana Al-Qur’an memberikan doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus
4)      Keindahan dalam kalimat serta beraneka ragam bentuknya, yaitu satu makna diungkapkan dalam beberapa lafaz dan susunan yang bermacam-macam yang semuanya indah dan halus
5)      Al-Qur’an mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan bentuk yang terperinci (tafsil)
6)      Dapat dimengerti sekaligus dengan melihat segi yang tersurat (yang dikemukakan)  
  Disamping itu, hal lain yang dapat dicatat dari kemu’jizatan Al-Qur’an dari aspek bahasa adalah ketelitian, kerapihan dan keseimbangan kata-kata yang digunakannya. Hal itu dapat dilihat pada bukti-bukti sebagai berikut:
1)      Ketelitian dalam pengungkapan kata-kata
Suatu surat yang diawali dengan huruf-huruf tertentu, di dalamnya selalu terdapat bahwa huruf-huruf itu, dalam jumlah rata-rata, lebih banyak dan berulang jika dibandingkan dengan huruf-huruf lainnya. Misalnya :
a) Dalam surat Qaf, dapat ditemukan huruf qaf (ق) berulang-ulang dalam jumlah rata-rata lebih banyak dari jumlah huruf lainnya. Jumlah rata-rata huruf qaf (ق) yang terbanyak di dalam surat Qaf itu ternyata juga merupakan jumlah huruf qaf (ق) yang terbanyak pula dibandingkan dengan jumlah huruf qaf  (ق) yang terdapat di dalam surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an.
b)   Demikian pula dengan huruf alif (ا), lam (ل) dan mim (م) yang mengawali surah al-Baqarah. Jumlah masing-masing huruf tersebut ternyata lebih banyak daripada huruf-huruf yang lain. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
-      Huruf alif  ( ا ) berulang sebanyak  4.592 kali
-      Huruf lam  ( ل ) berulang sebanyak 3.204 kali
-      Huruf mim ( م ) berulang sebanyak 2.195 kali
c)    Demikian halnya huruf alif (ا), lam (ل) dan mim  (م) yang mengawali surah Ali ‘imrwn:
-   Huruf alif ( ا ) berulang sebanyak  2.578 kali
-   Huruf lam ( ل ) berulang sebanyak 1.885 kali
-   Huruf mim ( م ) berulang sebanyak 1.251 kali
d)   Demikian halnya huruf alif (ا), lam (ل) dan mim  (م) yang mengawali surah al-‘Ankabut :
-   Huruf alif  ( ا ) berulang sebanyak   784 kali
-   Huruf lam  ( ل ) berulang sebanyak  554 kali
-   Huruf mim ( م ) berulang sebanyak  344 kali
Dan masih banyak bukti lainnya dalam surah-surah yang lain di dalam Al-Qur’an.
2)      Keseimbangan penggunaan kata-kata
Dalam Al-Qur’an terlihat pula keseimbangan kata-kata yang digunakan  secara simetris, misalnya  :
a)   Kata اَلْحَيَاةُ  berjumlah 145 kali, sama dengan kata اَلْمَوْتُ  yang berjumlah 145 kali
b)   Kata اَلدُّنْيَا berjumlah 115 kali, sama dengan kata  اَلأَخِرَةُ yang berjumlah 115 kali
c)   Kata مَلاَئِكَةٌ berjumlah 88 kali, sama dengan kata شَيْطَانٌ yang berjumlah 88 kali
d)   Kata نَصَائِبُ berjumlah 75 kali, sama dengan kata شُكُوْرٌ yang berjumlah 75 kali
e)   Kata  زَكَاةٌ berjumlah 32 kali, sama dengan kata بَرَكَةٌ  yang berjumlah 32 kali

3)      Misteri angka 19
Pada sisi lain dapat dilihat pula kerapihan penyusunan kata-kata itu pada angka 19, yakni jumlah huruf yang terdapat pada kalimat basmalah. Kalimatبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  terdiri dari 19 huruf dan setiap katanya terulang 19 kali dalam surah-surah Al-Qur’an, atau beberapa kali kelipatan angka 19, dengan penjelasan sebagai berikut:
a)   Kata اِسْم  berulang 19 kali di dalam Al-Qur’an
b) Kata اللهِ berulang 2698 kali, itu berarti = 19 x 142
c)  Kata الرَّحْمَنِ berulang 57 kali, itu berarti =  19 x 3
d) Kata الرَّحِيْمِ berulang 144 kali, itu berarti = 19 x 6
Disamping itu semua huruf terpisah yang mengawali surah-surah (fawatihus-suwar) berulang dalam hasil jumlah kali lipat angka 19. Perhatikan contoh-contoh berikut ini :
a) Huruf qaf ( ق )dalam surah Qaf berulang 57 kali, berarti = 19 x 3
b)    Huruf kaf ( ك ), ha’ ( ه ), ya’ ( ي ), ‘ain ( ع ), dan shad (ص)yang mengawali surah Maryam, berulang sebanyak 789 kali, berarti = 19 x 42
c)    Huruf nun ( ن ) dalam surah al-Qalam berulang sebanyak 133 kali, berarti = 19 x 7
d)    Huruf ya ( ي ) dan sin ( س ) yang mengawali surah yasin, dalam surah tersebut berulang sebanyak 285 kali, berarti = 19 x 15, dan sebagainya.
Ini membuktikan bahwa sedemikian rapi, teliti dan seimbangnya huruf dan kata yang digunakan dalam Al-Qur’an.
  1. Isi Kandungannya
Dilihat dari isi kandungannya, kemu’jizatan Al-Qur’an dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu :
1)   Al-Qur’an mengungkapkan berita-berita yang bersifat gaib.
Hal-hal yang bersifat ghaib yang diungkap dalam Al-Qur’an dapat dipilah menjadi 2 (dua) yaitu :
Pertama, berita menyangkut masa lalu. Sebagai contohnya: kisah Nabi Adam as., Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as, Nabi Musa as. dan kisah lain di masa lalu. Salah satu contoh lainnya sebagaimana diungkapkan dalam QS. Yynus [10]: 92
Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.”. (QS. Yynus [10] : 92)

Ayat tersebut menceritakan tentang Fir'aun yang diawetkan dengan cara dibalsem, sehingga utuh sampai sekarang. Hal itu bersifat ghaib, karena tidak ada orang yang mengenalnya. Akan tetapi berita Al-Qur’an itu ternyata terbukti kebenarannya kemudian.
Kedua, berita tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi baik di dunia maupun di akhirat, misalnya: 
“Alif Lām Mim. Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang.” (QS. ar- Ar-Rūm [30]: 1-3)
Ayat tersebut menceritakan tentang kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia. Padahal ketika ayat ini diturunkan, belum terjadi peperangan yang dimaksudkan ayat tersebut. Akan tetapi kebenaran berita itu terbukti sembilan tahun kemudian.
Berita ghaib menyangkut masa yang akan terjadi lainnya, misalnya berita tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar dijelaskan dalam QS. Al-Qamar [54]: 45, peristiwa Fathu Makkah dijelaskan dalam QS. Al-Fath [48]: 27, dan sebagainya.
2)   I’jazul ‘ilmi, yakni kemu’jizatan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an mengungkapkan isyarat-isyarat rumit terhadap ilmu pengetahuan sebelum pengetahuan itu sendiri sanggup menemukannya. Kemudian terbukti bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan baru yang didasarkan pada penelitian ilmiah.
Hal ini seperti difirmankan Allah Swt.:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fussilat [41]:53)
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan isyarat tentang ilmu pengetahuan, seperti: terjadinya perkawinan dalam tiap-tiap benda, perbedaan sidik jari manusia, berkurangnya oksigen di angkasa, khasiat madu, asal kejadian alam semesta, penyerbukan dengan angin, dan masih banyak lagi isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang bersifat potensial, yang kemudian berkembang menjadi ilmu pengetahuan modern.
Salah satu isyarat ilmu pengetahuan tersebut adalah mengenai perbedaan sidik jari manusia, firman Allah:

3.  Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?
4. (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna. (QS. Al-Qiywmah [75] : 3-4)

3)   Al-Qur’an memberikan aturan hukum atau undang-undang yang bersifat universal, mencakup segala urusan hidup dan kehidupan manusia.
Secara lebih rinci, Prof. Dr. H. Said Husin al-Munawar, MA. memberikan rumusan mengenai aspek-aspek kemu’jizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
a.       Susunan bahasa yang sangat indah, berbeda dengan setiap susunan bahasa yang ada dalam bahasa orang-orang Arab
b.      Adanya uslub yang luar biasa,  berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab
c.       Sifat agung yang tidak mungkin lagi seorang makhluk untuk mendatangkan hal yang seperti Al-Qur’an
d.      Bentuk undang-undang yang detail dan sempurna yang melebihi setiap undang-undang buatan manusia
e.       Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu
f.        Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya
g.      Menepati janji dan ancaman yang telah dikabarkan di dalamnya
h.      Memenuhi segala kebutuhan manusia
i.        Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuh (orang yang menentangnya)
6.      Perbedaan Bentuk Mu’jizat Nabi Muhammad SAW. dengan Mu’jizat Nabi-Nabi Terdahulu
Dilihat dari aspek kemu’jizatannya, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan mu’jizat ma’nawi, dimana untuk memahami dan mencapai kemu’jizatan Al-Qur’an harus dengan menggunakan akal fikiran yang rasional dan kecerdasan hati. Al-Qur’an adalah merupakan satu-satunya mu’jizat ma’nawi yang hanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. yang tidak dimiliki oleh para Nabi dan Rasul sebelum beliau. Al-Qur’an adalah mu’jizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad Saw. yang berlaku kekal sampai akhir zaman kelak.
Di samping mu’jizat Al-Qur’an yang bersifat ma’nawi, sebenarnya Nabi Muhammad Saw. juga diberi mu’jizat pissi. Misalnya: jari-jari beliau bisa mengeluarkan air pada saat sahabat-sahabat beliau kehausan, beliau bisa membelah bulan menjadi dua hanya dengan menggunakan jari yang ditunjukkan ke bulan untuk memenuhi tantangan orang kafir, dan masih ada beberapa mu’jizat pissi lainnya yang diberikan Allah Swt. kepada beliau Saw.
Berbeda halnya dengan Nabi Muhammad Saw. yang mendapat mu’jizat pissi dan ma’nawi, para Nabi dan Rasul sebelum beliau umumnya mendapat mu’jizat pissi saja. Di dalam Al-Qur’an banyak digambarkan mengenai mu’jizat-mu’jizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul terdahulu tersebut. Di antaranya adalah :
a.     Mu’jizat Nabi Nuh as. berupa kemampuan untuk membuat kapal yang sangat besar untuk menampung dan menyelamatkan  kaum yang beriman dari banjir besar, padahal saat itu sama sekali belum dikenal cara pembuatan kapal. Allah Swt. berfirman:
37. Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.
38. Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). (QS. Hyd [11]: 37-38)

b.     Mu’jizat Nabi Ibrahim as. berupa keistimewaan tidak hangus dibakar dalam api oleh raja Namruk. Hal ini digambarkan dalam QS. al-Anbiyw’[21]: 68-69 sebagai berikut:
68. Mereka berkata, ”Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.”
69. Kami (Allah) berfirman, Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. al-Anbiyw’[21]: 68-69)        

c.    Mu’jizat Nabi Musa as. yaitu berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular besar untuk mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun yang menyihir tali menjadi ular-ular kecil. Di samping itu tongkat beliau tersebut juga bisa menimbulkan 12 sumber mata air yang memancar ketika dipukulkan kepada sebuah batu pada saat beliau memohon air minum untuk kaumnya sebanyak 12 suku. Sebagaimana digambarkan dalam QS. al-A’rwf [7]: 107 dan QS. al-Baqarah [2]: 60
Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya.(QS. al-A’rwf [7]: 107)
d.    Mu’jizat Nabi Dawud as. berupa kemampuan untuk melunakkan besi dengan tangan beliau, sehingga bisa dibentuk sedemikian rupa menjadi baju besi dan senjata untuk dapat mengalahkan raja Jalut. Hal ini dijelaskan dalam QS. Sabw’ [34]:10-11.
10. Dan sungguh, Telah Kami berikan kepada Dawud karunia dari Kami. (Kami berfirman), ”Wahai gunung-gunung dan burung-burung! Bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud,” dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
11. (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Sabw’[34]:10-11)

e.    Mu’jizat Nabi Sulaiman as. berupa kemampuan untuk mendengar dan memahami bahasa binatang, seperti burung hud-hud dan semut. Sebagaimana digambarkan dalam QS.an-Naml [27]: 16-18.
16. Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia (Sulaiman) berkata, ”Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.”
17. Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib.
18. Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, ”Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. an-Naml [27]:16-18)

f.     Mu’jizat Nabi Isa as. berupa kemampuan untuk membuat burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahir, menyembuhkan penyakit sopak atau kusta, dan dapat menghidupkan orang yang sudah mati atas izin Allah Swt. Seperti yang digambarkan dalam QS. Ali ‘Imrwn [3]: 49
Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (dia berkata), ”Aku telah datang kepada kamu dengan sebuah tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu orang beriman.” (QS.Ali ‘Imrwn [3]: 49)

Demikian beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang mu’jizat para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. yang kesemuanya berbentuk mu’jizat pissi.
7.      Keotentikan Al-Qur’an
Allah SWT. menegaskan akan senantiasa menjaga atau memelihara kesucian, kemurniaan dan keotentikan kitab suci Al-Qur’an. Hal ini dapat telah dijelaskan dalam QS.al-Hijr ayat 9.
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.(QS. al-Hijr [15]: 9)

Sejak diturunkan hingga akhir zaman kelak kemurnian dan kautentikan Al-Qur’an akan senantiasa terjaga. Hal ini disebabkan karena kemu’jizatan yang terkandung di dalam Al-Qur’an itu sendiri, baik dari aspek bahasa dan uslubnya maupun dari aspek isi kandungannya yang memang terbukti tak satupun manusia yang dapat meniru atau mendatang semisal-nya.
Dalam hal terjaganya kemurnian dan keotentikan Al-Qur’an ini, Al-Qur’an mengajukan tantangan terutama kepada orang-orang kafir dan siapapun yang meragukan kebenarannya. Mereka menuduh bahwa Al-Qur’an hanyalah sejenis mantera-mantera tukang tenung dan kumpulan syair-syair. Mereka mengira bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad Saw.  Tantangan Al-Qur’an diberikan secara bertahap yakni sebagai berikut :
a.       Al-Qur’an menantang siapapun yang meragukan kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan semisalnya secara keseluruhan. Hal ini terkandung dalam QS. at-gyr [52] ayat 33-34.
33. Ataukah mereka berkata, ”Dia (Muhammad) mereka-rekanya.” Tidak! Merekalah yang tidak beriman.
34. Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur'an) jika mereka orang-orang yang benar. (QS. at- gyr [52]: 33-34)

Pada ayat lain ditegaskan bahwa manusia (dan jin) tidak akan pernah mampu untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an secara keseluruhan. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Isra’ [17]: 88.
Katakanlah, Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.. (QS.Al- Isrw’[17]: 88)
b.      Al-Qur’an menantang siapapun yang meragukan kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan 10 surah semisalnya. Hal ini terkandung dalam QS. Hyd [11] ayat 13
Artinya: Bahkan mereka mengatakan, Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an itu.” Katakanlah, (Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Hyd [11] ayat 13)
c.       Al-Qur’an menantang siapapun yang meragukan kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan satu surah saja semisal Al-Qur’an. Hal ini terkandung dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 23.
Artinya: “Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS.al-Baqarah [2]: 23).
Dari ketiga tantangan tersebut terbukti bahwa ternyata tidak ada yang dapat mendatangkan atau membuat yang serupa dengan Al-Qur’an, karena memang Al-Qur’an bukan buatan manusia, Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt.
Dari informasi sejarah juga telah terbukti bahwa Al-Qur’an terjaga kemurniannya. Al-Qur’an tidak dapat dipalsukan. Hal ini disebabkan karena banyak diantara umat Islam yang menjaganya dengan kekuatan hafalan mereka. Dan ternyata kekuatan hafalan ini pulalah yang menjadi jaminan penguat dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Qur’an tersebut.
Al-Qur’an diturunkan selama lebih kurang 23 tahun secara berangsur-angur. Kala itu banyak sahabat Nabi Saw. yang menghafal Al-Qur’an, di samping juga setiap kali turun ayat, maka ayat tersebut ditulis dalam media yang sangat sederhana, seperti: tulang, batu, pelepah daun kurma, kulit binatang, dan lain-lain. Sehingga pada masa khalifah Usman bin ‘Affan ra. Al-Qur’an dikodifikasi dalam bentuk mushaf, kekuatan hafalanlah yang menjadi satu unsur terpenting dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Qur’an. Singkatnya, kemurnian dan keotentikan Al-Qur’an terletak pada kemu’jizatan Al-Qur’an yang tidak bisa ditiru oleh siapapun, dan adanya kekuatan hafalan orang-orang Islam yang juga berperan dalam menjaga keotentikannya. Sejarahpun telah membuktikannya.

BAB III
TUJUAN DAN FUNGSI KITAB-KU

1.      Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pokok bagi ajaran Islam. Al-Qur’an juga merupakan sumber hukum yang utama dan pertama dalam Islam. Sebagai sumber pokok ajaran Islam, Al-Qur’an berisi ajaran-ajaran yang lengkap dan sempurna yang meliputi seluruh aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia, terutama umat Islam. Sebagai sumber hukum, Al-Qur’an telah memberikan tata aturan yang lengkap, ada yang masih bersifat global (mujmal) dan ada pula yang bersifat detail (tafsil). Al-Qur’an mengatur dengan disertai konsekuensi-konsekuensi demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang teratur, harmonis, bahagia dan sejahtera, baik lahir maupun batin.
Agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya, maka hendaknya manusia selalu berpegang teguh kepada prinsip dasar ajaran dan kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai sumber utamanya. Hal ini sebagaimana tersirat dalam QS. Ali ‘Imrwn ayat 103.
Artinya: Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,...” (QS. Ali-‘Imrwn  [3]:103).
Sebagian ulama’ menafsirkan lafaz حَبْلِ الله dengan Al-Qur’an. Dengan demikian ayat tersebut mengisyaratkan agar manusia khususnya umat Islam untuk senantiasa berpegang teguh kepada Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam.
Dalam QS. an-Nisa ayat 59, Allah Swt juga menegaskan:Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa [4]:59).
Ayat tersebut terdapat perintah untuk menaati Allah Swt. (اَطِيْعُوا اللهَ), maksudnya adalah menaati ajaran Allah Swt. yakni Al-Qur’an. Dalam ayat tersebut disiratkan bahwa Al-Qur’an menempati kedudukan sebagai sumber utama dan pertama dalam rangka menyelesaikan permasalahan umat Islam. Di samping Al-Qur’an, juga terkandung maksud untuk mendasarkan pada Hadis/Sunnah Rasulullah Saw. sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam adalah mengembalikan semua permasalahan kepada sumber pertamanya yaitu Al-Qur’an dan juga sumber keduanya yaitu Hadis/Sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, maka akan tercapai kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak.
2.      Tujuan dan Fungsi Al-Qur’an
Allah telah menurunkan Al-Qur’an dengan membawa kebenaran yang hakiki. Al-Qur’an memiliki beberapa fungsi dan tujuan bagi kehidupan umat manusia, terutama umat Islam. Di antara tujuan dan fungsi diturunkannya Al-Qur’an oleh Allah Swt. adalah:
a.       Al-Qur’an sebagai Petunjuk bagi Manusia
Al-Qur’an telah diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan malaikat Jibril as. sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan mengikuti petunjuk Al-Qur’an tersebut, manusia akan mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Beberapa ayat di antaranya adalah sebagai berikut :
 Artinya: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah [2]:185).
Atau ayat lain yang lebih khusus menegaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia yang bertakwa.
Artinya: “Kitab (Al-Qur'an)  ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS. al-Baqarah [2]:2).
Atau ada pula ayat yang khusus menegaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia yang beriman.
Artinya: “Dan sekiranya Al-Qur'an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab niscaya mereka mengatakan, ”Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah patut (Al-Qur'an) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul), orang Arab? Katakanlah, ”Al-Qur'an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman...  (QS. Fussilat [41]: 44).
Dari beberapa penjelasan ayat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu fungsi terpenting Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Petunjuk-petunjuk Al-Qur’an itu secara garis besar meliputi petunjuk tentang bagaimana hubungan manusia dengan Allah Swt., manusia dengan sesama manusia dan bahkan manusia dengan alam sekitarnya. Manusia yang mau mengikuti petunjuk Al-Qur’an, niscaya akan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
b.      Al-Qur’an sebagai Sumber Pokok Ajaran Islam
Salah satu fungsi penting Al-Qur’an lainnya adalah sebagai sumber pokok ajaran Islam. Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Al-Qur’anlah yang mula-mula menjelaskan ajaran yang lengkap dan menyeluruh yang diberikan oleh Allah Swt. Ajaran-ajaran tersebut ada yang bersifat mujmal, yakni hanya memberikan prinsip-prinsip umumnya saja, dan ada juga yang bersifat tafsil yakni ajaran yang terperinci dan khusus.
Ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an mutlak kebenarannya dan ajaran yang paling sempurna. Ajaran Al-Qur’an di samping membenarkan ajaran-ajaran kitab suci sebelumnya, juga menyempurnakan ajaran kitab-kitab sebelumnya tersebut. Al-Qur’an berisi tentang pokok-pokok atau dasar-dasar ajaran Islam yang berkenaan dengan masalah ketauhidan, ibadah, akhlak, hukum, dan segala hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
Dalam sebuah ayat, Allah Swt. menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan membawa kebenaran hakiki yang berfungsi sebagai dasar penetapan hukum yang harus dipegang teguh oleh Nabi Muhammad Saw., tidak boleh sedikitpun menyimpang dari Al-Qur’an. Dan tentunya hal ini juga harus dipegang teguh oleh umat Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nisw’ ayat 105.
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau   mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat,” (QS. an-Nisw’[4]: 105).
c.       Al-Qur’an sebagai Peringatan dan Pelajaran bagi Manusia
Sebagai peringatan dan pelajaran bagi manusia maksudnya adalah Al-Qur’an merupakan kitab suci dengan konsep ajaran yang salah satu ajarannya adalah berupa sejarah atau kisah umat terdahulu. Dalam kisah-kisah itu dijelaskan bahwa ada di antara umat manusia sebagian orang-orang yang beriman, taat dan shalih, namun ada pula sebagian yang lain orang-orang yang kafir, ma’siat dan tidak shalih. Kepada mereka yang salih, Allah Swt. menjanjikan kebaikan di dunia dan pahala (surga) di akhirat karena rida-Nya, sebaliknya kepada mereka yang kafir, durhaka dan tidak shalih, Allah Swt. mengancam dengan ancaman hukuman dan azab baik di dunia maupun di akhirat. Dan dalam banyak ayat, Allah Swt. membuktikan janji dan ancamannya tersebut.
Bagi kita, apa yang dijelaskan dalam kisah umat terdahulu tersebut, dapat kita ambil pelajaran dan sekaligus peringatan bagi kita untuk pandai mengambil pelajaran dan meneladani yang baik dan menjauhi yang buruk untuk mencapai kesuksesan dan kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak. Allah Swt. berfiman:
Artinya: “Dan ini (Al-Qur'an), Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan mereka selalu memelihara salatnya. (QS. al-An’wm [6]: 92).
Dalam ayat lain, Allah Swt. juga menegaskan tentang fungsi Al-Qur’an sebagai peringatan dan pelajaran terutama bagi orang-orang yang beriman.
Artinya: “ (Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman. (QS. Al-A’rwf [7]:2).
Apabila manusia, terutama umat Islam telah memfungsikan Al-Qur’an dengan cara menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup, menerapkan dan melaksanakan segala ajaran Islam sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an, serta mengambil pelajaran yang baik dan positif dan meneladaninya dan meninggalkan yang negatif, niscaya keselamatan, kesuksesan dan kebahagiaanlah yang akan diperoleh baik di dunia maupun di akhirat. Itulah fungsi dan tujuan diturunkannya Al-Qur’an.
3.        Perilaku Orang yang Memfungsikan Al-Qur'an
Perilaku taat kepada Allah Keimanan yang kuat terhadap kitab suci Al-Qur’an  akan mendorong seseorang untuk taat dan patuh terhadap segala perintah-perintah-Nya dan senatiasa menghindari apa yang dilarang-Nya, ketaatan itu muncul dari keyakinan bahwa segala yang dikandung dalam kitab al-Quran adalah benar dan harus dipatuhi oleh umat manusia. 
Selalu menghindari perbuatan maksiat maksiat artinya berbuat durhaka kepada Allah, baik dengan cara melanggar larangan-Nya maupun dengan tidak mau melakukan perintah-perintah-Nya. Tidak ada satupun ayat al-Quran yang menganjurkan manusia berbuat maksiat ataupun berbuat jahat baik kepada –Nya ataupun kepada sesama makhluk dan alam lingkungannya. Oleh sebab itu, setiap orang yang beriman kepada Al-Quran akan senatiasa menjag sikap perilaku dan perbuatannya dari hal-hal yang berbau maksiat.
Selalu Berbakti kepada orang tua. Dalam Al-Quran Allah selalu menjelaskan bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menghormati dan berbakti kepada ayah ibunya, karena mereka sangat besar jasanya bagi kelangsungan hidup seseorang, tanpa kebesaran jiwanya, kemuliaan hatinya, tidak mungkin seorang anak dapat bertahan hidup. Oleh sebab itu, seorang yang beriman kepada al-Quran dan memfungsikannya tidak mungkin berbuat durhaka dan menyakiti orangtuanya, dalam hati mereka terdapat keyakinan bahwa mengabaikan dan mendurhakai orangtua akan mendapatkan murka dari Allah Swt.
Sebagai bentuk  penerapan fungsi Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari  kita harus berusaha menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup, sebagai landasan hukum dan etika serta menjadikan Al-Quran sebagai tempat kembalinya segala persoalan.

BAB IV
POKOK-POKOK ISI KITAB-KU

Isi kandungan Al-Qur’an itu selanjutnya dapat digali dan dikembangkan menjadi berbagai bidang. Dalam bab ini akan diuraikan isi kandungan Al-Qur’an secara garis besar yaitu meliputi :
1.      Akidah
Secara etimologi akidah berarti kepercayaan atau keyakinan. Bentuk jamak Akidah (‘Aqidah) adalah aqa’id. Akidah juga disebut dengan istilah keimanan. Orang yang berakidah berarti orang yang beriman (mukmin). Akidah secara terminologi didefinisikan sebagai suatu kepercayaan yang harus diyakini dengan sepenuh hati, dinyatakan dengan lisan dan dimanifestasikan dalam bentuk amal perbuatan.  Akidah Islam adalah keyakinan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Seorang yang menyatakan diri berakidah Islam tidak hanya cukup mempercayai dan meyakini keyakinan dalam hatinya, tetapi harus menyatakannya dengan lisan dan harus mewujudkannya dalam bentuk amal perbuatan (amal shalih) dalam kehidupannya sehari-hari.
Inti pokok ajaran akidah adalah masalah tauhid, yakni keyakinan bahwa Allah Maha Esa. Setiap muslim wajib meyakini ke-Maha Esa-an Allah. Orang yang tidak meyakini ke-Maha Esa-an Allah berarti ia kafir, dan apabila meyakini adanya Tuhan selain Allah dinamakan musyrik. Dalam akidah Islam, di samping kewajiban untuk meyakini bahwa Allah itu Esa, juga ada kewajiban untuk meyakini rukun-rukun iman yang lain. Tidak dibenarkan apabila seseorang yang mengaku berakidah/beriman apabila dia hanya mengimani Allah saja, atau meyakini sebagian dari rukun iman saja. Rukun iman yang wajib diyakini tersebut adalah: iman kepada Allah Swt, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qaia’ dan qadar.
Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran akidah yang terkandung di dalamnya, di antaranya adalah sebagai berikut :
a. (QS. al-Ikhlas [112]: 1-4):
1. Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah tempat meminta segala sesuatu.
3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
      4. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”

b.    (QS. al-Baqarah [2]: 163)
   Artinya: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
c. (QS. al-Baqarah [2]: 285)
 Artinya: “Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, ”Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.”
2.        Ibadah dan Muamalah
Ibadah berasal dari kataعِبَادَةً /عَبَدَ – يَعْبُدُ – عَبْدًا  artinya mengabdi atau menyembah. Yang dimaksud ibadah adalah menyembah atau mengabdi sepenuhnya kepada Allah Swt. dengan tunduk, taat dan patuh kepada-Nya. Ibadah merupakan bentuk kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan yakin terhadap kebesaran Allah Swt., sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Karena keyakinan bahwa Allah Swt. mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Firman Allah Swt:
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. ak- jwriywt [51] : 56)
Manusia harus menyadari bahwa dirinya ada karena diciptakan oleh Allah Swt., oleh sebab itu manusia harus sadar bahwa dia membutuhkan Allah Swt. Dan kebutuhan terhadap Allah itu diwujudkan dengan bentuk beribadah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya manusia menyembah dan meminta pertolongan. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. al-Fwtihah [1]: 5)
Ibadah dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : ibadah mahiah dan ghairu mahiah. Ibadah mahiah artinya ibadah khusus yang tata caranya sudah ditentukan, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahiah artinya ibadah yang bersifat umum, tata caranya tidak ditentukan secara khusus, yang bertujuan untuk mencari ridha Allah Swt., misalnya: silaturrahim, bekerja mencari rizki yang halal diniati ibadah, belajar untuk menuntut ilmu, dan sebagainya.
Selain beribadah kepada Allah Swt. karena kesadaran manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt., manusia juga memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama manusia lainnya. Maka Al-Qur’an tidak hanya memberikan ajaran tentang ibadah sebagai wujud kebutuhan manusia terhadap Allah Swt. (حَبْلٌ مِنَ اللهِ), tetapi juga mengatur bagaimana memenuhi kebutuhan dalam hubungannya dengan manusia lain (حَبْلٌ مِنَ النَّاسِ). Misalnya: sillaturrahim, jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, dan kegiatan lain dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan dalam hubungan antar manusia ini disebut dengan mu’amalah.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ajaran tentang tata cara bermu’amalah, antara lain:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar....” (QS. al-Baqarah [2]: 282)
3.      Akhlak
Akhlak (اَخْلاَقٌ) ditinjau dari segi etimologi merupakan bentuk jama’ dari kata (خُلُق) yang berarti perangai, tingkah laku, tabiat, atau budi pekerti. Dalam pengertian terminologis, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang muncul spontan dalam tingkah laku hidup sehari-hari.
Dalam konsep bahasa Indonesia, akhlak semakna dengan istilah etika atau moral. Akhlak merupakan satu fundamen penting dalam ajaran Islam, sehingga Rasulullah Saw. menegaskan dalam sebuah hadis bahwa tujuan diutusnya beliau adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ )رواه احمد(
“Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah Saw. bersabda: "Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR.  Ahmad)
      Nabi Muhammad Saw. adalah model dan suri tauladan bagi umat dalam bertingkah laku dengan akhlak mulia (karimah). Al-Qur’an merupakan sumber ajaran tentang akhlak mulia itu. Dan beliau merupakan manusia yang dapat menerapkan ajaran akhlak dari Al-Qur’an tersebut menjadi kepribadian beliau. Sehingga wajarlah ketika Aisyah Ra. ditanya oleh seorang sahabat tentang akhlak beliau, lalu Aisyah ra. menjawab dengan menyatakan كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْءَانُ (akhlak beliau adalah Al-Qur’an).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan tentang ajaran akhlak Nabi Muhammad Saw. antara lain adalah :
a.    Atinya:Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur. (QS. al-Qalam [68]: 4).

b.    Artinya:“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. al-Ahzab [33]: 21)
4.      Hukum
Hukum sebagai salah satu isi pokok ajaran Al-Qur’an berisi kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan dasar dan menyeluruh bagi umat manusia. Tujuannya adalah untuk memberikan pedoman kepada umat manusia agar kehidupannya menjadi adil, aman, tenteram, teratur, sejahtera, bahagia, dan selamat di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagai sumber hukum ajaran Islam, Al-Qur’an banyak memberikan ketentuan-ketentuan hukum yang harus dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum baik secara global (mujmal) maupun terperinci (tafsil). Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum antara lain adalah :
a.    Artinya:Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau   mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat” (QS. an-Nisa’ [4]: 105)
b.    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. al-Mwidah [5]: 90)
Ketentuan-ketentuan hukum lain yang dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah meliputi :
a.       Hukum perkawinan, antara lain dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 221; QS. al-Maidah: 5; QS.an-Nisw’: 22-24; QS.an-Nur: 2; QS. al-Mumtahanah:10-11.
b.      Hukum waris, antara lain dijelaskan dalam QS. an-Nisw’: 7-12 dan 176, QS. al-Baqarah:180; QS. al-Mwidah:106
c.       Hukum perjanjian, antara lain dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 279, 280 dan 282; QS. al-Anfal: 56 dan 58; QS. at-Taubah: 4
d.      Hukum pidana, antara lain dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 178; QS. an-Nisw’: 92 dan 93; QS. al-Mwidah: 38; QS. Yynus: 27; QS. al-Isrw’: 33; QS. asy-Syu’ara: 40
e.       Hukum perang, antara lain dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 190-193; QS. al-Anfal: 39 dan 41; QS. at-Taubah: 5,29 dan 123, QS. al-Hajj: 39 dan 40
f.        Hukum antarbangsa, antara lain dijelaskan dalam QS. al-Hujurwt: 13
5.      Sejarah / Kisah Umat Masa Lalu
Al-Qur’an sebagai kitab suci bagi umat Islam banyak menjelaskan tentang sejarah atau kisah umat pada masa lalu. Sejarah atau kisah-kisah tersebut bukan hanya sekedar cerita atau dongeng semata, tetapi dimaksudkan untuk menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi umat Islam. Ibrah tersebut kemudian dapat dijadikan dapat menjadi petunjuk untuk dapat menjalani kehidupan agar senantiasa sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah Swt.
Artinya: "Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yysuf [12]: 111).
Al-Qur’an telah banyak menggambarkan umat-umat terdahulu baik yang iman dan taat kepada Allah Swt. maupun yang ingkar dan ma’siat kepada-Nya. Diharapkan dengan memperhatikan kisah umat terdahulu, umat Islam bisa mencontoh umat-umat yang taat kepada Allah Swt. dan menghindari perbuatan ma’siat kepada-Nya. Bagi umat yang beriman dan taat kepada Allah Swt., Allah Swt. telah memberikan kebaikan dan keberkahan dalam hidup mereka, sebaliknya bagi yang ingkar dan ma’siat kepada-Nya, Allah Swt telah memberikan azab-Nya.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang sejarah atau kisah umat terdahulu antara lain :
Artinya:
37. “Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh ketika mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkam mereka dan Kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim azab yang pedih;
38. dan (telah Kami binasakan) kaum ‘Ad dan Samūd dan penduduk Rass serta banyak (lagi) generasi di antara (kaum-kaum) itu.
39. Dan masing-masing telah Kami jadikan perumpamaan dan masing-masing telah Kami hancurkan sehancur-hancurnya.” (QS. al-Furqan [25]: 37-39)
6.      Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan (Sains) Dan Teknologi
Al-Qur’an adalah kitab suci ilmiah. Banyak ayat yang memberikan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang bersifat potensial untuk kemudian dapat dikembangkan guna kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Allah Swt. yang Maha memberi ilmu telah mengajarkan kepada umat manusia untuk dapat menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu diisyaratkan pada saat ayat Al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu QS. al-‘Alaq: 1-5 :
Artinya:
1.   Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
2.   Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.   Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
4.   Yang mengajar (manusia) dengan pena.
5.   Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.  (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5)
Ayat yang pertama kali diturunkan tersebut diawali dengan perintah untuk membaca. Membaca adalah satu faktor terpenting dalam proses belajar untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya membaca dalam upaya mencari dan menguasai ilmu pengetahuan.
Ayat lain yang berisi dorongan untuk menguasai ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam QS. al-Mujwdilah ayat 11.
Artinya: “….niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan..” (QS. al-Mujwdilah/58: 11).
Al-Qur’an banyak mendorong umat manusia untuk menggali, meneliti dan mengembangkan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan dan kesejahteraan hidupnya. Isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut diantara berkenaan dengan ilmu kedokteran, farmasi, pertanian, matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu anatomi tubuh, teknologi perkepalan, teknologi pesawat terbang, dan lain sebagainya.
Hal penting untuk diingat bahwa dalam kurun waktu sejarah umat manusia, Islam telah melahirkan banyak cendekiawan muslim yang telah berhasil menemukan berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkat ketelitian mereka dalam menggali isyarat ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an. Di antara cendekiawan-cendekiawan muslim tersebut ialah: Ibnu Rusyd, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, Al-Khawarizmi, dan lain-lain. Bahkan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan telah banyak mengilhami bangsa barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berkembang hingga saat ini.
7.        Perilaku Orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai Pedoman dalam Kehidupan Sehari-hari.
Al-Qur`an adalah wahyu Allah terakhir kepada umat manusia. Kitab suci ini mengandung semua kunci untuk membuka pengetahuan Allah yang tidak terbatas (Q.S. Al-Kahfi [18]:109). Al-Qur`an adalah petunjuk Allah bagi orang yang bertakwa dan tidak ada keraguan di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 2).
Orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidupnya selalu mempelajari Al-Qur’an. Dengan mempelajari Al-Quran, seseorang akan terlepas dari kebodohan dan kesesatan dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan Al-Quran, hati akan lembut dan terhindar dari penyakit-penyakit hati atau ruhani. Dada akan senantiasa lapang dan luas dalam menerima petunjuk-petunjuk dan titah-titah ketuhanan. Akal pikiran menjadi cerdas dan terbebas dari kesesatan berpikir picik dan dangkal. Perilaku akan terhindar dari gerak jiwa yang dapat mendatangkan petaka dan kerugian bagi diri, orang lain maupun linkungannya. Seluruh aktivitas diri akan senantiasa terarah dari dan menuju kebenaran. Rasulullah Saw. bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah siapa yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain”. (H.R. Bukhari dari Usman ibn `Affan Ra).
Al-Qur’an merupakan jaring yang ditebarkan oleh Yang Maha Tunggal untuk menarik kaum pria dan wanita yang tersesat di dalam dunia ini agar kembali kepada sumber Ilahi mereka. Al-Qur`an adalah peta dan petunjuk kehidupan. Hidup dalam sinaran petunjuk Al-Qur’an dan mematuhi ketentuan-ketentuannya merupakan kunci untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk bisa hidup dalam sinaran petunjuk Al-Quran, manusia haruslah melakukan iqra’. Iqra` terambil dari akar kata qara`a yang berarti “menghimpun”,  sehingga tidak harus selalu diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”.  Dari “menghimpun” lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu , dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Melakukan iqra` terhadap Al-Quran berarti kita melakukan aktivitas membaca, menelaah, menganalisa, memahami, mendalami, menyelami, mengamalkan dan mengambil hikmah dalam kehidupan. Aktivitas ini merupakan perpaduan antara kinerja qalbu (hati) dan akal.
Membaca teks Al-Quran adalah aktivitas awal dan fondasi awal dalam melakukan iqra`. Aktivitas ini meliputi mengenal huruf Al-Qur’an dan cara mengucapkannya; cara membacanya, memanjangkan yang seharusnya dibaca panjang dan memendekkan yang seharusnya dibaca pendek (tajwid Al-Qur’an).
Aktivitas membaca teks yang sudah benar mengantarkan pembacanya untuk tahapan selanjutnya yaitu menelaah, memahami, menganalisa, dan mendalami Al-Quran. Aktivitas ini dimulai dengan mempelajari makna kata-kata Al-Quran, atau apa yang biasa disebut dengan belajar tarjamah Al-Quran. Setelah mengerti makna tiap-tiap kata dari ayat Al-Quran, maka langkah selanjutnya adalah mencoba menafsirkankan dengan bantuan atau rujukan kepada kitab-kitab tafsir yang ada sebagai upaya dari proses “menelaah, memahami, menganalisa, dan mendalami” Al-Qur’an.
Setelah proses pertama dan kedua selesai, maka proses ketiga adalah mengamalkan dan menjadikannya akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini sering disebut sebagai upaya untuk “membumikan” Al-Quran. Al-Quran tidak lagi hanya kumpulan teks atau firman Tuhan yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah, tetapi merupakan sumber inspirasi dan pedoman hidup manusia dalam mengarungi kehidupan mereka. Al-Quran tidak lagi hanya sebagai ajaran yang melangit tetapi sudah membumi lewat umat Islam yang akhlak dan perilakunya sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.

BAB V
MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH DAN KHALIFAH DI BUMI

A. 1). QS. al-Mu’minyn [23] ayat 12-14
a. Terjemah ayat
12. Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.
13. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. al-Mu’minyn [23] : 12-14.
b.  Penjelasan Ayat
QS. al-Mu’minyn ini menerangkan tentang proses penciptaan manusia yang sangat unik. Proses penciptaan manusia diuraikan mulai unsur pertamanya, proses perkembangan dan pertumbuhannya di dalam rahim, sehingga menjadi makhluk yang sempurna dan siap lahir menjadi seorang anak manusia.
Pada ayat 12, Allah SWT. menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari sari pati yang berasal dari tanah (سُلاَلَةٍ مِنْ طِيْنٍ). Selanjutnya, pada ayat 13, dengan kekuasaan-Nya saripati yang berasal dari tanah itu dijadikan-Nya menjadi nuhfah (air mani). Dalam istilah biologi, air mani seorang laki-laki disebut sel sperma dan air mani wanita disebut sel telur (ovum). Ketika keduanya bertemu dalam proses konsepsi atau pembuahan, maka kemudian tersimpan dalam tempat yang kokoh yaitu rahim seorang wanita.
Selanjutnya, pada ayat 14 dijelaskan ketika berada di dalam rahim seorang wanita tersebut, selama kurun waktu tertentu (40 hari) nuhfah tersebut berkembang menjadi ’alaqah (segumpal darah), kemudian dalam kurun waktu tertentu pula (40 hari) ’alaqah berubah menjadi muigah (segumpal daging), lalu selama kurun waktu tertentu (40 hari) berubah menjadi tulang-belulang yang terbungkus daging, dan akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi anak manusia, sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut (”kemudian Kami menjadikan dia makhluk yang berbentuk lain”).
Dalam teori biologi, dijelaskan bahwa manusia berasal dari pertemuan antara sperma seorang laki-laki dengan sel telur (ovum) seorang wanita yang berlangsung di dalam saluran oviduc pada saat ovulasi pada tubuh seorang wanita yang kemudian disebut dengan pembuahan. Kemudian  akan dihasilkan zygot yang bergerak ke dalam rahim lalu menempel pada dinding rahim. Di dalam rahim, zygot akan berkembang menjadi embrio kemudian menjadi janin. Dalam perkembangan berikutnya, janin siap lahir setelah melalui masa tertentu. Selama di dalam rahim sampai lahir, asupan makanan diperoleh melalui saluran yang menempel pada dinding rahim yang disebut plasenta. Gambaran yang demikian telah dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut.
Sebagai penguatan terhadap penjelasan tersebut, Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis beliau menjelaskan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكًا يَقُولُ يَا رَبِّ نُطْفَةٌ يَا رَبِّ عَلَقَةٌ يَا رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْضِيَ خَلْقَهُ قَالَ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى شَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ وَالْأَجَلُ فَيُكْتَبُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ (رواه البخاري)             
Dari Anas bin Malik dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menugaskan satu Malaikat dalam rahim seseorang. Malaikat itu berkata, 'Ya Rabb, (sekarang baru) sperma. Ya Rabb, segumpal darah!, Ya Rabb, segumpal daging! ' Maka apabila Allah berkehendak menetapkan ciptaan-Nya, Malaikat itu bertanya, 'Apakah laki-laki atau wanita, celaka atau bahagia, bagaimana dengan rizki dan ajalnya? ' Maka ditetapkanlah ketentuan takdirnya selagi berada dalam perut ibunya." (HR. Bukhari)
Yang menjadi sangat menakjubkan adalah bahwa ketika Al-Qur’an diturunkan, pemahaman manusia terhadap proses kejadian manusia masih belum sampai pada penggambaran yang sangat detail seperti yang digambarkan ayat-ayat tersebut. Namun, Al-Qur’an menggambarkannya dengan sedemikian detail dan gamblang. Bahkan Rasulullah Saw. yang dikenal sebagai seorang Nabi yang ummi, justru bisa menjelaskan dalam hadis di atas. Dan dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semua yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an dan kemudian dijelaskan lebih detail lagi oleh Nabi Muhammad Saw. ternyata semuanya terbukti benar. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah Swt. Apa yang dikandung di dalamnya adalah kebenaran hakiki dan bersifat mutlak (absolut).
2). QS al-Nahl [16]:78
a. Terjemah ayat
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.( QS. An-Nahl [16]: 78)
b.  Penjelasan Ayat
Ayat 78 surah an-Nahl ini masih erat kaitannya dengan surah al-Mu’minun ayat 12-14 sebagaimana dijelaskan di atas. Pada ayat ini, Allah Swt. menegaskan bahwa ketika seorang anak manusia dilahirkan ke dunia, dia tidak tahu apa-apa. Dengan kekuasaan dan kasih sayang-Nya, Allah Swt. membekalinya dengan atribut pelengkap yang nantinya dapat berfungsi untuk mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak pernah diketahui. Atribut-atribut tersebut ialah berupa tiga unsur penting dalam proses pembelajaran bagi manusia, yakni: pendengaran, penglihatan dan hati/akal pikiran.
Yang menarik untuk ditelaah, bahwa ternyata pendengaran adalah unsur penting yang pertama kali digunakan bagi orang yang belajar guna memahami segala sesuatu. Menurut sebuah teori penemuan modern, bayi yang masih dalam kandungan bisa menangkap pesan yang disampaikan dari luar dan ia sangat peka. Maka ada ahli yang menyarankan agar anak nantinya berkembang dengan kecerdasan tinggi dan kehalusan budi, hendaknya selama di dalam kandungan ia sering diperdengarkan musik klasik dan irama-irama yang lembut. Atau kalau dalam konteks Islam, hendaknya bayi dalam kandungan sering diperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, kalimah-kalimah thayyibah. Karena diyakini bahwa sang bayi dapat menangkap pesan menlalui pendengaran itu.
Dalam proses memahami dan mempelajari segala sesuatu, manusia menangkapnya dengan pendengaran, diperkuat dengan penglihatan dan akhirnya disimpan dalam hati sebagai ilmu pengetahuan.
Akhirnya setelah manusia menyadari bahwa dahulu ketika lahir tidak satupun yang bisa diketahui, kemudian atas kemurahan Allah Swt. yang telah memberikan pendengaran, penglihatan dan hati/akal pikiran, manusia bisa mengetahui segala sesuatu dalam hidupnya. Puncaknya, kesadaran tersebut sudah seharusnya mendorong rasa bersyukur yang teramat besar kepada yang telah berkuasa memberikan itu semua. Oleh karena itu, pada akhir ayat, Allah Swt. menegaskan bahwa itu semua diberikan kepada manusia agar manusia mau bersyukur kepada-Nya. Rasa syukur itu kemudian harus diwujudkan dengan pengakuan, ketundukan, ketaatan, kepatuhan yang diekspresikan dalam bentuk keimanan dan direalisasikan dalam bentuk beribadah kepada-Nya. Dia-lah Allah Swt. jat yang Maha Pencipta, jat yang Maha Pemurah, jat yang Maha Kuasa, jat yang Maha Besar dan jat yang berhak disembah oleh sekalian makhluk.
3). QS al-Baqarah [2]: 30 -32
a. Terjemah ayat
30.  Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah  di bumi.” Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
31.  Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”
32.  Mereka menjawab, Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami  ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30-32)
b.  Penjelasan Ayat
Dalam ayat 30 surah al-Baqarah ini, disampaikan informasi bahwa sebelum Allah Swt. menciptakan manusia pertama yakni Adam as. hal tersebut sudah disampaikan kepada para malaikat. Diilustrasikan dalam ayat tersebut, terjadi dialog antara Allah Swt. dengan malaikat. Allah Swt. menyampaikan kepada para malaikat bahwa Allah Swt. hendak menjadikan khalifah di muka bumi yaitu manusia. Apakah yang dimaksud khalifah itu? Khalifah berarti pengganti, yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang. Ulama’ ada yang mengartikan bahwa khalifah ialah yang menggantikan Allah Swt. dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Allah Swt. menunjuk manusia sebagai khalifah merupakan penghormatan kepadanya karena kelebihannya dibandingkan makhluk selain manusia, tidak terkecuali malaikat. Dengan menunjuk manusia sebagai khalifah, Allah Swt. juga bermaksud mengujinya sejauh mana manusia bisa melaksanakan amanah sebagai khalifah Allah Swt. di muka bumi. 
Ketika Allah Swt. menyampaikan rencana tersebut, malaikat menyampaikan ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”  Bila dikaji dengan baik, pernyataan malaikat tersebut bukan pertanda keberatan atas rencana Allah Swt. tersebut. Perlu diingat bahwa malaikat adalah makhluk yang sangat taat dan patuh terhadap Allah Swt., tidak mungkin malaikat menentang dan mendurhakai-Nya, termasuk terhadap rencana menjadikan khalifah di muka bumi ini. Namun demikian, pertanyaan malaikat tersebut dapat diasumsikan beberapa hal. Pertama, bisa jadi hal itu berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia dimana ada makhluk yang berlaku merusak dan menumpahkan darah. Kedua, atau bisa juga malaikat menduga bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka tentunya makhluk ini berbeda dengan mereka yang senantiasa bertasbih dan memuji Allah Swt. Ketiga, bisa juga karena dari penamaan Allah Swt. terhadap makhluk yang akan diciptakan dengan sebutan khalifah. Kata khalifah ini mengisyaratkan pelerai perselisihan dan penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada diantara mereka yang berbuat kerusakan, perselisihan dan pertumpahan darah. Wallahu a’lam. Tetapi, apapun latar belakang pertanyaan malaikat tersebut, yang pasti malaikat hanya bertanya kepada Allah Swt. bukan menunjukkan keberatan terhadap rencana Allah Swt.
Kemudian dalam ayat tersebut, diketahui bahwa pertanyaan malaikat itu dijawab singkat oleh Allah Swt.: ”Sesungguhnya Aku (Allah) mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”. Jawaban Allah Swt. tersebut juga diperkuat bahwa manusia memang layak ditugasi sebagai khalifah di muka bumi karena kelebihan manusia jika dibandingkan makhluk lain termasuk malaikat. Kelebihan yang sangat nyata adalah kelengkapan unsur penciptaan manusia, yaitu jasad fisik, ruh termasuk di dalamnya nafsu, dan yang terpenting kelebihan akal pikiran yang dikaruniakan Allah Swt. kepada manusia.
Dalam ayat selanjutnya, ayat 31-32, Allah Swt. menyatakan kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya.
4). QS al - jariyat [51]: 56
a. Terjemah ayat
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. ak-jariyat [51]: 56)
b.  Penjelasan Ayat
Allah menegaskan dalam QS. ak-jariyat ayat 56 bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah dalam arti menyembah, mengabdi, menghamba, tunduk, tata dan patuh terhadap segala yang dikehendaki-Nya. Ketundukan, ketaatan dan kepatuhan dalam kerangka ibadah tersebut harus menyeluruh dan total, baik lahir maupun batin. Tujuan ibadah adalah untuk mencari riia Allah Swt.
Secara garis besar, ibadah dapat dibedakan menjadi dua yaitu: ibadah mahiah yakni ibadah yang telah ditetapkan ketentuan pelaksanaannya, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji; dan ibadah ghairu mahiah yakni ibadah yang belum ditetapkan ketentuan secara khusus dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, ibadah melalui menyantuni fakir miskin, berbuat baik, dan hal-hal lain dalam bentuk mu’amalah.
Ibadah merupakan bukti rasa syukur manusia kepada Allah Swt. yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dan yang dengan kemurahan-Nya Allah Swt. memberikan fasilitas hidup. Sikap tersebut sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, apabila manusia mempunyai kesadaran akan hak itu. Lain halnya apabila manusia tidak mempunyai kesadaran untuk mensyukuri segala yang telah diberikan oleh Allah Swt., maka ia akan menjadi manusia yang tidak mau tunduk, tidak mau taat dan mengingkari Allah Swt. dengan tidak mau beribadah kepada-Nya.
Rasulullah Saw. sebagai teladan kita telah mengajarkan bahwa ibadah bukan saja kewajiban tetapi kebutuhan kita untuk berteima kasih ataupun bersyukur kepada Allah Swt. Dalam sebuah hadis beliau bersabda :

سَمِعْتُ الْمُغِيرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُومُ لِيُصَلِّيَ حَتَّى تَرِمُ قَدَمَاهُ أَوْ سَاقَاهُ فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا (رواه البخاري)
Aku mendengar Al Mughirah ra. berkata; "Ketika Nabi Saw bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga tampak bengkak pada kaki atau betis, Beliau dimintai keterangan tentangnya. Maka Beliau menjawab: "Apakah memang tidak sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?" (HR.Bukhari)
B. Perilaku sebagai Hamba Allah dan Khalifah di Bumi
Sebelum kalian menerapkan perilaku sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi sebagai implementasi QS al- Mu’minun [23]:12-14; QS al-Nahl [16]:78; QS al-Baqarah [2]:30-32; dan QS al-jariyat [51]: 56, terlebih dahulu kalian harus membiasakan membaca Al-Qur’an setiap hari.
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan pengamalan QS al- Mu’minyn [23]:12-14 sebagai berikut.
1.      Selalu sadar diri bahwa kita diciptakan dari sesuatu yang hina.
2.      Senatiasa mengakui kemahakuasaan Allah yang telah menjadikan kita dari sesuatu yang hina tersebut.
3.      Senantiasa bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan kita sebaik-baik bentuk
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan pengamalan QS al-Nahl [16]:78 sebagai berikut.
1.      Senantiasa mengakui kebesaran Allah yang telah menganugerahi kita pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.
2.      Selalu bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang telah diberikan kepada kita berupa pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan pengamalan QS al-Baqarah [2]:30-32 sebagai berikut.
1.      Senantiasa mendiskusikan segala sesuatu dengan yang lain sebelum diputuskan untuk melakukannya.
2.      Senantiasa menerima dengan lapang dada kelebihan yang lain atas dirinya. 
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan pengamalan QS al-jariyat [51]: 56 sebagai berikut.
1.      Selalu beribadah hanya kepada Allah baik dalam artian sempit maupun luas.
2.      Senantiasa mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan kepada kita yang dimanifestasikan dengan beribadah kepada-Nya.





Sumber :  Rosidin, Mukarom Faisal. dkk. 2013. AL-QUR’AN HADIS Untuk Kelas X Madrasah Aliyah IPA, IPS, Bahasa. Bandung: KEMENTERIAN AGAMA RI.