Minggu, 29 April 2018
Materi Al-qur'an Hadits Madrasah Aliyah kelas X semester Ganjil
BAB
I
AL-QUR’AN
KITAB-KU
A.
Pengertian
Al-Qur’an
Para ulama’ dan pakar/ahli dalam bidang
ilmu Al-Qur’an telah mendefinisikan Al-Qur’an menurut pemahaman mereka
masing-masing, baik secara etimologi maupun terminologi.
Secara etimologi para ulama’ berbeda pendapat
dalam mendefinisikan Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa pendapat tersebut.
a.
Menurut
Al-Lihyany
(w.
215 H) dan segolongan ulama lain
Kata Qur’an
adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il),
قَرَأَ artinya membaca,
dengan perubahan bentuk kata/tasrif (قَرَأَ-يَقْرَأُ-قُرْءَانًا). Dari tasrif tersebut, kata قُرْءَانًا artinya bacaan yang bermakna isim maf’ul (مَقْرُوْءٌ) artinya yang dibaca. Karena Al-Qur’an itu dibaca maka
dinamailah Al-Qur’an. Kata tersebut selanjutnya
digunakan untuk kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad
Saw. Pendapat ini berdasarkan firman
Allah SWT sebagaimana yang termaksud dalam QS. al-Qiyamah ayat 17-18.
Artinya:
17. Sesungguhnya Kami yang akan
mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.
18. Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
b.
Menurut
Al-Asy’ari (w. 324 H) dan beberapa golongan lain
Kata Qur’an berasal dari lafaz قَرَنَ yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain.
Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai nama Kalamullah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya dan huruf-hurufnya
beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lain.
c.
Menurut
Al-Farra’
(w. 207 H)
Kata Qur’an berasal dari lafak قَرَائِنٌ merupakan bentuk jama’ dari kata قَرِيْنَةٌ yang berarti petunjuk atau indikator, mengingat
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling membenarkan. Dan
kemudian dijadikan nama bagi Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
d.
Menurut
Az-Zujaj
(w. 331 H)
Kata Qur’an itu kata sifat dari اَلْقَرْءُ yang sewazan (seimbang) dengan kata فُعْلاَنٌ yang artinya الْجَمْعُ (kumpulan).
Selanjutnya kata tersebut digunakan sebagai salah satu
nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., karena
Al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah
dan larangan, dan mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya.
e.
Menurut
Asy-Syafi’i
(w. 204 H)
Kata Al-Qur’an adalah isim
’alam, bukan kata bentukan (isytiqwq) dari kata apapun dan sejak
awal memang digunakan sebagai nama khusus bagi kitab suci yang diturunkan Allah
Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagaimana halnya dengan nama-nama kitab suci
sebelumnya yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh Allah SWT.
sama halnya nama kitab suci sebelumnya, yaitu Zabur (Nabi Dawud as.),
Taurat (Nabi Musa as.) dan Injil (Nabi Isa as.). Menurut Abu Syuhbah
dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal li Dirasah Al-Qur’an al-Karrm,
dari kelima pendapat tersebut diatas, pendapat pertamalah yang paling tepat
yakni menurut Al-Lihyany yang menyatakan bahwa kata Al-Qur’an merupakan
kata bentukan (isytiqaq) dari kata قَرَأَdan
pendapat inilah yang paling masyhur.
Ditinjau
dari pengertian secara terminologi, para ulama’ juga berbeda-beda pendapat
dalam mendefinisikan Al-Qur’an. Perbedaan itu terjadi disebabkan oleh adanya
perbedaan sudut pandang dan perbedaan dalam menyebutkan unsur-unsur,
sifat-sifat atau aspek-aspek yang terkandung di dalam Al-Qur’an itu sendiri
yang memang sangat luas dan komprehensif. Semakin banyak unsur dan sifat dalam
mendefinisikan Al-Qur’an, maka semakin panjang redaksinya. Namun demikian,
perbedaan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat prinsipil, justru perbedaan
pendapat tersebut bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga jika
pendapat-pendapat itu digabungkan, maka pemahaman terhadap pengertian Al-Qur’an
akan lebih luas dan komprehensif. Beberapa
pendapat ulama’ mengenai definisi Al-Qur’an secara terminologi di antaranya
adalah:
a.
Syeikh Muhammad Khuiari
Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri’
al-Islwm, Syeikh Muhammad Khuiari Beik mengemukakan definisi Al-Qur’an
sebagai berikut:
اَلْقُرْءَانُ
هُوَ اللَّفْظُ الْعَرَبِيُّ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِلتَّدَبُّرِ وَالتَّذَكُّرِ الْمَنْقُوْلُ مُتَوَاتِرًا وَهُوَ مَا
دَفَّـتَيْنِ الْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَـاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ
النَّـاسِ
Artinya:
“Al-Qur’an ialah lafaz
(firman Allah) yang berbahasa Arab, yang diturunkan kepada Muhammad SAW., untuk
dipahami isinya dan selalu diingat, yang disampaikan dengan cara mutawatir,
yang ditulis dalam mushaf, yang dimulai dengan surat al-Fwtihah dan diakhiri
dengan surat an-Nas”.
b.
Subkhi aalih
Subkhi
aalih mengemukakan definisi Al-Qur’an sebagai berikut :
اَلْقُرْءَانُ
هُوَ الْكِتَابُ الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ
الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
Artinya:
Al-Qur’an
adalah kitab (Allah) yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw., yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara
mutawatir, dan bernilai ibadah membacanya.
c.
Syeikh Muhammad Abduh
Sedangkan Syeikh Muhammad Abduh
mendefinisikan Al-Qur’an dengan pengertian sebagai berikut :
اَلْكِتَابُ
هُوَ الْقُرْءَانُ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ
الْمَحْفُوْظُ فِيْ صُدُوْرِ مَنْ عَنَى بِحِفْظِهِ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ
Artinya:
Kitab
(Al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang terpelihara
di dalam dada orang yang menjaga(nya) dengan menghafalnya (yakni) orang-orang
Islam.
Dari
ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian
Al-Qur’an sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
adalah firman atau kalam Allah SWT.
b. Al-Qur’an
terdiri dari lafaz berbahasa Arab
c. Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
d. Al-Qur’an
merupakan kitab Allah SWT yang mengandung mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW yang
diturunkan dengan perantara malaikat Jibril.
e. Al-Qur’an
disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan).
f. Al-Qur’an
merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah.
g. Al-Qur’an
ditulis dalam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surah al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah an-Nas
h. Al-Qur’an
senantiasa terjaga/terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian orang Islam
yang menjaganya dengan menghafal Al-Qur’an.
B. Nama-nama
Al-Qur’an
Nama Al-Qur’an
bukanlah satu-satunya nama yang diberikan Allah Swt. terhadap kitab suci yang
diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Menurut
Az-Zarkasyi dan As-Suyuhy dalam kitab Al-Itqwn menyebutkan
bahwa Al-Qur’an mempunyai 55 nama. Bahkan dalam Ensiklopedi Islam untuk
Pelajar, disebutkan ada 78 nama-nama bagi kitab suci Al-Qur’an. Namun, jika
diperhatikan dan dicermati lebih lanjut berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an secara
redaksional, maka akan didapatkan beberapa nama saja, yang lainnya bukanlah
nama melainkan hanya sifat, fungsi atau indikator Al-Qur’an. Beberapa nama
Al-Qur’an tersebut adalah:
d.
Al-Qur’an (اَلْقُرْءَانُ)
Al-Qur’an merupakan nama yang paling
populer dan paling sering dilekatkan pada kitab suci terakhir yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, Al-Qur’an
artinya bacaan atau yang dibaca. Adapun beberapa ayat yang di dalamnya
terdapat istilah Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
· (QS.
al-Baqarah [2]: 185) Artinya : “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an,
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). …..”
· (QS.
al-A’rwf [7]: 204) Artinya : “Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar
kamu mendapat rahmat.”
· (QS.
Thwha/20: 2) Artinya : “Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau
menjadi susah”
Di samping nama Al-Qur’an yang telah disebut dalam
ayat-ayat di atas masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang di dalamnya
terdapat nama Al-Qur’an, seperti : QS. Yunus [10]: 37, QS. al-Hijr [15]: 87,
QS. an-Nahl [16]: 97, QS. al-Hijr [17]: 9, QS. al-Hasyr [59]: 21, dan QS.
al-Buruj [85]: 21.
e.
Al-Kitwb
(اَلْكِتَابُ)
Al-Qur’an sering disebut sebagai Kitwbullah
artinya kitab suci Allah. Al-Kitwb juga bisa diartikan yang ditulis.
f.
Al-Furqwn
(اَلْفُرْقَان)
Al-Furqwn
artinya pembeda, maksudnya yang membedakan antara yang haq dan yang
batil. Al-Furqan merupakan salah satu nama Al-Qur’an.
g.
Ak- jikr
(اَلذكْر)
Ak-jikr
berarti pemberi peringatan, maksudnya yang memberi peringatan kepada
manusia.
h.
At-Tanzrl
(اَلتَّنْزِيْلُ)
At-Tanzrl
artinya yang diturunkan, maksudnya Al-Qur’an diturunkan oleh
Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaan malaikat Jibril as.
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia.
C. Perilaku
Orang yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an
Al-Qur’an
merupakan sumber ajaran Islam yang pertama. Setiap muslim berkewajiban untuk
berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah Swt, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman
dasar bagi kehidupan umat manusia. Kita sebagai seorang muslim harus meyakini
tuntunan
yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yang berkaitan dengan
iman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir,
serta qadha dan qadar.
Sebagai seseorang yang berpegang
teguh kepada Al-Qur’an kita harus memiliki budi pekerti yang luhur karena
Al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan
akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta
etika kehidupan.
Sebagai seorang yang berpegang teguh
kepada Al-Qur’an kita harus melaksanakan ibadah karena Al-Qur’an berisikan
tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
Sebagai seorang yang berpegang teguh
kepada Al-Qur’an kita harus bergaul dengan sesama dengan baik sebab Al-Qur’an
berisi tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat.
BAB II
BETAPA OTENTIKNYA
KITAB-KU
1. Al-Qur’an
Merupakan Mu’jizat
Secara etimologi kata Mu’jizat
berbentuk isim fw’il yang berasal dari kata:
اَعْجَزَ – يُعْجِزُ – اِعْجَازً – مُعْجِزٌ
/ مُعْجِزَةٌ
yang
berarti melemahkan atau mengalahkan lawan. Mu’jizat juga
diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi tradisi atau kebiasaan (sesuatu yang
luar biasa).
Secara terminologi, Manna’ Qahhan
mendefinisikan mukjizat sebagai berikut:
اَلْمُعْجِزَةُ
هِيَ اَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَـادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّى سَالِمٌ عَنِ
الْمُعَارَضَةِ
Mu’jizat adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan
disertai dengan tantangan dan selamat dari perlawanan.
Mu’jizat
hanya diberikan oleh Allah Swt. kepada para Nabi dan Rasul-Nya dalam
menyampaikan risalah Ilahi terutama untuk menghadapi umatnya yang
menolak atau tidak mengakui kerasulan mereka. Mu’jizat berfungsi sebagai bukti
atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan mereka, bahwa mereka adalah
benar-benar para nabi dan rasul (utusan) Allah yang membawa risalah kebenaran
dari Allah Swt. Adapun tujuan diberikannya mu’jizat adalah agar para Nabi dan
Rasul mampu melemahkan dan mengalahkan orang-orang kafir yang menentang dan
tidak mengakui atas kebenaran kenabian dan kerasulan mereka.
Secara umum mu’jizat para Nabi dan Rasul
itu berkaitan dengan masalah yang dianggap mempunyai nilai tinggi dan diakui
sebagai suatu keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu. Misalnya,
zaman Nabi Musa as. adalah zaman keunggulan tukang-tukang sihir, maka mu’jizat
utamanya adalah untuk mengalahkan tukang-tukang sihir tersebut. Zaman Nabi Isa
as. adalah zaman kemajuan ilmu kedokteran, maka mu’jizat utamanya adalah mampu
menyembuhkan penyakit yang tidak dapat disembuhkan pengobatan biasa, yaitu
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan dan orang yang berpenyakit
sopak atau kusta, serta menghidupkan orang yang sudah mati. Dan zaman Nabi
Muhammad Saw. adalah zaman keemasan kesusastraan Arab, maka mu’jizat utamanya
adalah Al-Qur’an, kitab suci yang ayat-ayatnya mengandung nilai sastra yang
amat tinggi, sehingga tidak ada seorang manusiapun dapat membuat serupa dengan
Al-Qur’an.
2. Syarat-syarat
Mu’jizat
Suatu kejadian atau peristiwa
dikatakan sebagai mu’jizat apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Mu’jizat
adalah sesuatu yang tidak sanggup dilakukan oleh siapapun selain Allah Swt.
b. Mu’jizat
adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan atau tidak sesuai dengan kebiasaan dan
berlawanan dengan hukum alam.
c. Mu’jizat
harus berupa hal yang dijadikan saksi oleh seseorang yang mengaku membawa risalah
Ilahi sebagai bukti atas kebenaran pengakuannya.
d. Mu’jizat
terjadi bertepatan dengan pengakuan Nabi yang mengajak bertanding menggunakan mu’jizat
tersebut.
e. Tidak
ada seorang manusiapun, bahkan jin sekalipun yang dapat membuktikan dan
membandingkan dalam pertandingan tersebut.
Kelima syarat tersebut di atas bila
terpenuhi, maka suatu hal yang timbul di luar kebiasaan adalah merupakan
mu’jizat yang menyatakan atas kenabian atau kerasulan orang yang
mengemukakannya dan mu’jizat akan muncul dari tangannya.
3. Macam-macam
Mu’jizat
Mu’jizat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Mu’jizat
oissi, ialah mu’jizat yang dapat dilihat oleh
mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dan atau
dirasa oleh lidah, tegasnya dapat dicapai dan ditangkap oleh pancaindera.
Mu’jizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan manusia biasa, yakni mereka
yang tidak biasa menggunakan kecerdasan akal fikirannya, yang tidak cakap
padangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaanya. Karena bisa dicapai
dengan panca indera, maka mu’jizat ini bisa juga disebut mu’jizat inderawi.
Mu’jizat pissi ini dibatasi oleh
ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan kepada umat tertentu dan di masa
tertentu.
b. Mu’jizat
ma’nawi ialah mu’jizat yang tidak mungkin dapat
dicapai dengan kekuatan panca indera, tetapi harus dicapai dengan kekuatan “’aqli”
atau dengan kecerdasan pikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal
mu’jizat ma’nawi ini melainkan orang yang berpikir sehat, cerdas,
bermata hati, berbudi luhur dan yang suka mempergunakan kecerdasan fikirannya
dengan jernih serta jujur. Karena harus menggunakan akal fikiran untuk
mencapainya, maka bisa disebut juga mu’jizat ‘aqli atau mu’jizat
rasional.
Berbeda dengan mu’jizat pissi,
mu’jizat ma’nawi bersifat universal dan eternal (abadi), yakni berlaku
untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.
4. Pengertian
I’jazul Qur’an
Jika kata mu’jizat dilekatkan dengan
kitab suci Al-Qur’an, ia bisa memiliki dua konotasi. Pertama, lemahnya
manusia untuk merumuskan suatu ungkapan atau kalimat yang dapat menandingi
ayat-ayat Al-Qur’an, baik secara individual maupun secara kolektif. Kedua,
ia mempunyai sifat menantang manusia dan jin untuk membuat semacam Al-Qur’an,
sampai munculnya kesadaran mereka untuk mengakui kelemahan diri sendiri ketika
berhadapan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud i’jazul Qur’an adalah menetapkan kelemahan manusia dan jin
baik secara individual maupun kolektif untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an.
Mu’jizat Al-Qur’an bertujuan untuk
menumbuhkan kesadaran pada manusia bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt. dan
sekaligus merupakan bukti kerasulan Muhammad Saw.
Dalam hal ini Imam al-Suyuti, sebagaimana
dikutip oleh Dr. Syahrin Harahap, MA., mengungkapkan bahwa :
“Adanya i’jaz Al-Qur’an itu ada
kaitannya dengan persepsi yang salah dari pihak orang Arab terhadapnya.
Sehingga Al-Qur’an memberi jawaban terhadap persepsi mereka yang keliru itu,
dengan cara nenawarkan agar mereka menunjukkan kekuatan argumentasi dan
kebenarannya. Akan tetapi orang Arab sama sekali tidak dapat membuktikan
kebenaran mereka, sementara Al-Qur’an secara meyakinkan menunjukkan
kebenarannya. Di sinilah letak i’jaz (kemu’jizatan) Al-Qur’an itu.”
5. Aspek-aspek
Kemu’jizatan Al-Qur’an
I’jaz
Al-Qur’an sesungguhnya terdapat dalam dirinya sendiri. Tegasnya kemu’jizatan
Al-Qur’an ada dalam kandungannya, bukan di luarnya. Jadi, kitab suci ini tidak
membutuhkan keterangan lain di luar dirinya untuk membuktikan bahwa ia adalah
mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Saw.
Secara garis besar ada dua aspek
kemu’jizatan Al-Qur’an yaitu:
a. Gaya
Bahasa (Uslub)
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas
yang tidak dapat ditiru para sastrawan Arab sekalipun, karena susunan yang
indah yang berlainan dengan setiap susunan dalam bahasa Arab. Mereka melihat
Al-Qur’an memakai bahasa dan lafaz mereka, tetapi ia bukan puisi, prosa atau
syair dan mereka tidak mampu membuat seperti itu (meniru Al-Qur’an). Mereka
tidak pernah mampu untuk menandinginya dan putus asa lalu merenungkannya,
kemudian merasa kagum dan menerimanya, lalu sebagian masuk Islam. Contoh dalam
sejarah diterangkan bahwa Umar bin Khattab ra. menyatakan diri masuk Islam
setelah mendengar ayat-ayat pertama surat Thwha, dan masih banyak contoh
lainnya. Inilah bukti kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi bahasanya.
Uslub
Al-Qur’an sangatlah indah. Keindahan uslub Al-Qur’an benar-benar telah membuat
orang-orang Arab dan atau luar Arab kagum dan terpesona. Di dalam Al-Qur’an
terkandung nilai-nilai istimewa di mana tidak akan terdapat dalam ucapan
manusia menyamai isi yang terkandung di dalamnya.
Al-Qur’an dalam uslubnya yang
menakjubkan mempunyai beberapa keistimewaan-keistimewaan, di antaranya :
1) Kelembutan
Al-Qur’an secara lafziah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan
bahasanya.
2) Keserasian
Al-Qur’an baik untuk awam maupun kaum cendekiawan, dalam arti bahwa semua orang
dapat merasakan keagungan dan keindahan Al-Qur’an
3) Sesuai
dengan akal dan perasaan, di mana Al-Qur’an memberikan doktrin pada akal dan
hati, serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus
4) Keindahan
dalam kalimat serta beraneka ragam bentuknya, yaitu satu makna diungkapkan
dalam beberapa lafaz dan susunan yang bermacam-macam yang semuanya indah dan
halus
5) Al-Qur’an
mencakup dan memenuhi persyaratan antara bentuk global (ijmal) dan
bentuk yang terperinci (tafsil)
6) Dapat
dimengerti sekaligus dengan melihat segi yang tersurat (yang dikemukakan)
Disamping itu, hal lain yang dapat dicatat dari kemu’jizatan Al-Qur’an
dari aspek bahasa adalah ketelitian, kerapihan dan keseimbangan kata-kata yang
digunakannya. Hal itu dapat dilihat pada bukti-bukti sebagai berikut:
1) Ketelitian
dalam pengungkapan kata-kata
Suatu surat yang diawali
dengan huruf-huruf tertentu, di dalamnya selalu terdapat bahwa huruf-huruf itu,
dalam jumlah rata-rata, lebih banyak dan berulang jika dibandingkan dengan
huruf-huruf lainnya. Misalnya :
a) Dalam
surat Qaf, dapat ditemukan huruf qaf (ق) berulang-ulang dalam jumlah
rata-rata lebih banyak dari jumlah huruf lainnya. Jumlah rata-rata huruf qaf
(ق) yang terbanyak di dalam surat Qaf itu ternyata
juga merupakan jumlah huruf qaf (ق) yang terbanyak pula dibandingkan
dengan jumlah huruf qaf (ق) yang terdapat di dalam surah-surah
lainnya dalam Al-Qur’an.
b) Demikian pula dengan huruf alif (ا), lam (ل) dan mim (م) yang mengawali surah al-Baqarah.
Jumlah masing-masing huruf tersebut ternyata lebih banyak daripada huruf-huruf
yang lain. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
- Huruf alif ( ا ) berulang sebanyak
4.592 kali
- Huruf lam ( ل ) berulang sebanyak 3.204 kali
- Huruf mim ( م ) berulang sebanyak 2.195 kali
c) Demikian halnya huruf alif (ا), lam (ل) dan mim (م) yang mengawali surah Ali ‘imrwn:
- Huruf alif (
ا ) berulang sebanyak 2.578 kali
- Huruf lam (
ل ) berulang sebanyak 1.885 kali
- Huruf mim (
م ) berulang sebanyak
1.251 kali
d) Demikian halnya huruf alif (ا), lam (ل) dan mim (م) yang mengawali surah al-‘Ankabut
:
- Huruf alif ( ا ) berulang sebanyak
784 kali
- Huruf lam ( ل ) berulang sebanyak
554 kali
- Huruf mim ( م ) berulang sebanyak 344 kali
Dan masih banyak bukti
lainnya dalam surah-surah yang lain di dalam Al-Qur’an.
2) Keseimbangan
penggunaan kata-kata
Dalam Al-Qur’an terlihat pula keseimbangan
kata-kata yang digunakan secara
simetris, misalnya :
a) Kata اَلْحَيَاةُ berjumlah 145 kali, sama
dengan kata اَلْمَوْتُ yang berjumlah 145 kali
b) Kata اَلدُّنْيَا berjumlah 115 kali, sama dengan kata اَلأَخِرَةُ yang berjumlah 115 kali
c) Kata مَلاَئِكَةٌ berjumlah 88 kali, sama dengan kata شَيْطَانٌ yang berjumlah 88 kali
d) Kata نَصَائِبُ berjumlah 75 kali, sama dengan kata شُكُوْرٌ yang berjumlah 75 kali
e) Kata زَكَاةٌ berjumlah 32 kali, sama dengan kata بَرَكَةٌ yang berjumlah 32 kali
3) Misteri
angka 19
Pada sisi lain dapat dilihat pula
kerapihan penyusunan kata-kata itu pada angka 19, yakni jumlah huruf yang
terdapat pada kalimat basmalah. Kalimatبِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ terdiri dari 19 huruf dan setiap katanya
terulang 19 kali dalam surah-surah Al-Qur’an, atau beberapa kali kelipatan
angka 19, dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Kata اِسْم
berulang 19 kali di dalam Al-Qur’an
b)
Kata اللهِ
berulang 2698 kali, itu berarti = 19 x 142
c) Kata الرَّحْمَنِ berulang 57 kali, itu berarti =
19 x 3
d)
Kata الرَّحِيْمِ
berulang 144 kali, itu berarti = 19 x 6
Disamping itu semua huruf terpisah yang
mengawali surah-surah (fawatihus-suwar) berulang dalam hasil jumlah kali
lipat angka 19. Perhatikan contoh-contoh berikut ini :
a)
Huruf qaf ( ق )dalam
surah Qaf berulang 57 kali, berarti = 19 x 3
b) Huruf kaf ( ك ), ha’ ( ه ), ya’ ( ي ), ‘ain ( ع ), dan shad (ص)yang mengawali surah Maryam, berulang sebanyak 789 kali,
berarti = 19 x 42
c) Huruf nun (
ن ) dalam surah al-Qalam
berulang sebanyak 133 kali, berarti = 19 x 7
d) Huruf ya (
ي ) dan sin ( س ) yang mengawali surah
yasin, dalam surah tersebut berulang sebanyak 285 kali, berarti = 19 x 15, dan
sebagainya.
Ini membuktikan bahwa sedemikian rapi,
teliti dan seimbangnya huruf dan kata yang digunakan dalam Al-Qur’an.
- Isi
Kandungannya
Dilihat dari isi
kandungannya, kemu’jizatan Al-Qur’an dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu :
1) Al-Qur’an
mengungkapkan berita-berita yang bersifat gaib.
Hal-hal yang bersifat ghaib yang diungkap
dalam Al-Qur’an dapat dipilah menjadi 2 (dua) yaitu :
Pertama,
berita menyangkut masa lalu. Sebagai contohnya: kisah Nabi Adam as., Nabi Nuh
as., Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as, Nabi Musa as. dan kisah lain di masa
lalu. Salah satu contoh lainnya sebagaimana diungkapkan dalam QS. Yynus [10]: 92
“Maka pada hari ini Kami
selamatkan jasadmu agar engkau dapat
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.”.
(QS. Yynus [10] : 92)
Ayat tersebut menceritakan tentang Fir'aun
yang diawetkan dengan cara dibalsem, sehingga utuh sampai sekarang. Hal itu
bersifat ghaib, karena tidak ada orang yang mengenalnya. Akan tetapi berita
Al-Qur’an itu ternyata terbukti kebenarannya kemudian.
Kedua,
berita tentang peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi baik di dunia maupun di akhirat, misalnya:
“Alif Lām Mim. Bangsa Romawi telah
dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan
menang.” (QS. ar- Ar-Rūm [30]: 1-3)
Ayat tersebut menceritakan tentang
kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia. Padahal ketika ayat ini
diturunkan, belum terjadi peperangan yang dimaksudkan ayat tersebut. Akan
tetapi kebenaran berita itu terbukti sembilan tahun kemudian.
Berita ghaib menyangkut masa yang akan
terjadi lainnya, misalnya berita tentang kemenangan umat Islam dalam perang
Badar dijelaskan dalam QS. Al-Qamar [54]: 45, peristiwa Fathu Makkah
dijelaskan dalam QS. Al-Fath [48]: 27, dan sebagainya.
2) I’jazul
‘ilmi, yakni kemu’jizatan ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an mengungkapkan isyarat-isyarat rumit terhadap ilmu pengetahuan sebelum
pengetahuan itu sendiri sanggup menemukannya. Kemudian terbukti bahwa Al-Qur’an
sama sekali tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan baru yang didasarkan
pada penelitian ilmiah.
Hal ini seperti difirmankan Allah Swt.:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah
(bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
(QS. Fussilat [41]:53)
Banyak ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan
isyarat tentang ilmu pengetahuan, seperti: terjadinya perkawinan dalam tiap-tiap
benda, perbedaan sidik jari manusia, berkurangnya oksigen di angkasa, khasiat
madu, asal kejadian alam semesta, penyerbukan dengan angin, dan masih banyak
lagi isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang bersifat potensial, yang kemudian
berkembang menjadi ilmu pengetahuan modern.
Salah satu isyarat ilmu pengetahuan
tersebut adalah mengenai perbedaan sidik jari manusia, firman Allah:
3. Apakah
manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang
belulangnya?
4. (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali)
jari
jemarinya dengan sempurna. (QS.
Al-Qiywmah [75] : 3-4)
3) Al-Qur’an
memberikan aturan hukum atau undang-undang yang bersifat universal, mencakup
segala urusan hidup dan kehidupan manusia.
Secara lebih rinci, Prof. Dr. H. Said
Husin al-Munawar, MA. memberikan rumusan mengenai aspek-aspek kemu’jizatan
Al-Qur’an sebagai berikut :
a. Susunan
bahasa yang sangat indah, berbeda dengan setiap susunan bahasa yang ada dalam
bahasa orang-orang Arab
b. Adanya
uslub yang luar biasa, berbeda
dengan semua uslub-uslub bahasa Arab
c. Sifat
agung yang tidak mungkin lagi seorang makhluk untuk mendatangkan hal yang
seperti Al-Qur’an
d. Bentuk
undang-undang yang detail dan sempurna yang melebihi setiap undang-undang
buatan manusia
e. Mengabarkan
hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu
f.
Tidak bertentangan dengan
pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya
g. Menepati
janji dan ancaman yang telah dikabarkan di dalamnya
h. Memenuhi
segala kebutuhan manusia
i.
Berpengaruh kepada hati
pengikut dan musuh (orang yang menentangnya)
6. Perbedaan
Bentuk Mu’jizat Nabi Muhammad SAW. dengan Mu’jizat Nabi-Nabi Terdahulu
Dilihat dari aspek kemu’jizatannya,
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan mu’jizat
ma’nawi, dimana untuk memahami dan mencapai kemu’jizatan Al-Qur’an harus
dengan menggunakan akal fikiran yang rasional dan kecerdasan hati. Al-Qur’an
adalah merupakan satu-satunya mu’jizat ma’nawi yang hanya diberikan
kepada Nabi Muhammad Saw. yang tidak dimiliki oleh para Nabi dan Rasul sebelum
beliau. Al-Qur’an adalah mu’jizat yang terbesar bagi Nabi Muhammad Saw. yang
berlaku kekal sampai akhir zaman kelak.
Di samping mu’jizat Al-Qur’an yang
bersifat ma’nawi, sebenarnya Nabi Muhammad Saw. juga diberi mu’jizat pissi.
Misalnya: jari-jari beliau bisa mengeluarkan air pada saat sahabat-sahabat
beliau kehausan, beliau bisa membelah bulan menjadi dua hanya dengan
menggunakan jari yang ditunjukkan ke bulan untuk memenuhi tantangan orang
kafir, dan masih ada beberapa mu’jizat pissi lainnya yang diberikan
Allah Swt. kepada beliau Saw.
Berbeda halnya dengan Nabi Muhammad Saw.
yang mendapat mu’jizat pissi dan ma’nawi, para Nabi dan Rasul
sebelum beliau umumnya mendapat mu’jizat pissi saja. Di dalam Al-Qur’an
banyak digambarkan mengenai mu’jizat-mu’jizat yang diberikan kepada para Nabi
dan Rasul terdahulu tersebut. Di antaranya adalah :
a. Mu’jizat Nabi Nuh as. berupa kemampuan untuk
membuat kapal yang sangat besar untuk menampung dan menyelamatkan kaum yang beriman dari banjir besar, padahal
saat itu sama sekali belum dikenal cara pembuatan kapal. Allah Swt. berfirman:
37. Dan buatlah kapal itu dengan
pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah
engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya
mereka itu akan ditenggelamkan.
38. Dan mulailah dia (Nuh) membuat
kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan
melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, ”Jika kamu mengejek kami,
maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). (QS. Hyd [11]: 37-38)
b. Mu’jizat Nabi Ibrahim as. berupa keistimewaan
tidak hangus dibakar dalam api oleh raja Namruk. Hal ini digambarkan dalam QS.
al-Anbiyw’[21]: 68-69 sebagai berikut:
68. Mereka
berkata, ”Bakarlah
dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.”
69. Kami (Allah)
berfirman, ”Wahai api! Jadilah
kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS.
al-Anbiyw’[21]: 68-69)
c. Mu’jizat
Nabi Musa as. yaitu berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular besar untuk
mengalahkan tukang-tukang sihir Fir’aun yang menyihir tali menjadi ular-ular
kecil. Di samping itu tongkat beliau tersebut juga bisa menimbulkan 12 sumber
mata air yang memancar ketika dipukulkan kepada sebuah batu pada saat beliau
memohon air minum untuk kaumnya sebanyak 12 suku. Sebagaimana digambarkan dalam
QS. al-A’rwf [7]: 107 dan QS. al-Baqarah [2]: 60
“Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba
tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya.”
(QS.
al-A’rwf [7]: 107)
d. Mu’jizat
Nabi Dawud as. berupa kemampuan untuk melunakkan besi dengan tangan beliau,
sehingga bisa dibentuk sedemikian rupa menjadi baju besi dan senjata untuk
dapat mengalahkan raja Jalut. Hal ini dijelaskan dalam QS. Sabw’ [34]:10-11.
10. Dan sungguh, Telah Kami berikan kepada Dawud karunia
dari Kami. (Kami berfirman), ”Wahai
gunung-gunung dan burung-burung!
Bertasbihlah berulang-ulang bersama Dawud,” dan Kami telah melunakkan
besi untuknya,
11.
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan
kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS. Sabw’[34]:10-11)
e. Mu’jizat
Nabi Sulaiman as. berupa kemampuan untuk mendengar dan memahami bahasa
binatang, seperti burung hud-hud dan semut. Sebagaimana digambarkan dalam
QS.an-Naml [27]: 16-18.
16. Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud, dan dia
(Sulaiman) berkata, ”Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami
diberi segala sesuatu. Sungguh, (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.”
17. Dan untuk Sulaiman dikumpulkan bala tentaranya dari jin, manusia
dan burung, lalu mereka berbaris dengan tertib.
18. Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor
semut, ”Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak
diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.”
(QS. an-Naml [27]:16-18)
f.
Mu’jizat Nabi Isa as. berupa kemampuan
untuk membuat burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahir,
menyembuhkan penyakit sopak atau kusta, dan dapat menghidupkan orang yang sudah
mati atas izin Allah Swt. Seperti yang digambarkan dalam QS. Ali ‘Imrwn [3]: 49
“Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (dia
berkata), ”Aku telah datang kepada kamu dengan sebuah tanda (mukjizat) dari
Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti
burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah.
Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang
berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, dan aku
beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kebenaran
kerasulanku) bagimu, jika kamu orang beriman.”
(QS.Ali ‘Imrwn [3]: 49)
Demikian beberapa ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang mu’jizat para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw.
yang kesemuanya berbentuk mu’jizat pissi.
7.
Keotentikan Al-Qur’an
Allah SWT. menegaskan akan senantiasa
menjaga atau memelihara kesucian, kemurniaan dan keotentikan kitab suci
Al-Qur’an. Hal ini dapat telah dijelaskan dalam QS.al-Hijr ayat 9.
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”
(QS. al-Hijr [15]: 9)
Sejak diturunkan hingga akhir zaman kelak
kemurnian dan kautentikan Al-Qur’an akan senantiasa terjaga. Hal ini disebabkan
karena kemu’jizatan yang terkandung di dalam Al-Qur’an itu sendiri, baik dari
aspek bahasa dan uslubnya maupun dari aspek isi kandungannya yang memang
terbukti tak satupun manusia yang dapat meniru atau mendatang semisal-nya.
Dalam hal terjaganya kemurnian dan
keotentikan Al-Qur’an ini, Al-Qur’an mengajukan tantangan terutama kepada
orang-orang kafir dan siapapun yang meragukan kebenarannya. Mereka menuduh
bahwa Al-Qur’an hanyalah sejenis mantera-mantera tukang tenung dan kumpulan
syair-syair. Mereka mengira bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad
Saw. Tantangan Al-Qur’an diberikan
secara bertahap yakni sebagai berikut :
a.
Al-Qur’an menantang siapapun yang
meragukan kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan semisalnya secara keseluruhan.
Hal ini terkandung dalam QS. at-gyr [52] ayat 33-34.
33.
Ataukah mereka
berkata, ”Dia (Muhammad)
mereka-rekanya.” Tidak! Merekalah yang tidak beriman.
34. Maka cobalah mereka membuat yang semisal
dengannya (Al-Qur'an) jika mereka orang-orang yang benar.
(QS. at- gyr [52]: 33-34)
Pada ayat lain ditegaskan bahwa
manusia (dan jin) tidak akan pernah mampu untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an
secara keseluruhan. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Isra’ [17]: 88.
Katakanlah,
”Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini,
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling
membantu satu sama lain.”.
(QS.Al- Isrw’[17]: 88)
b.
Al-Qur’an menantang siapapun yang meragukan
kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan 10 surah semisalnya. Hal ini terkandung
dalam QS. Hyd [11] ayat 13
Artinya: Bahkan mereka mengatakan, ”Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an itu.” Katakanlah, ”(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal
dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu
yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Hyd [11] ayat 13)
c.
Al-Qur’an menantang siapapun yang meragukan
kebenaran Al-Qur’an untuk mendatangkan satu surah saja semisal Al-Qur’an. Hal
ini terkandung dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 23.
Artinya: “Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah
semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (QS.al-Baqarah
[2]: 23).
Dari ketiga tantangan tersebut
terbukti bahwa ternyata tidak ada yang dapat mendatangkan atau membuat yang
serupa dengan Al-Qur’an, karena memang Al-Qur’an bukan buatan manusia,
Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt.
Dari informasi sejarah juga telah terbukti
bahwa Al-Qur’an terjaga kemurniannya. Al-Qur’an tidak dapat dipalsukan. Hal ini
disebabkan karena banyak diantara umat Islam yang menjaganya dengan kekuatan
hafalan mereka. Dan ternyata kekuatan hafalan ini pulalah yang menjadi jaminan
penguat dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Qur’an tersebut.
Al-Qur’an diturunkan selama lebih kurang
23 tahun secara berangsur-angur. Kala itu banyak sahabat Nabi Saw. yang
menghafal Al-Qur’an, di samping juga setiap kali turun ayat, maka ayat tersebut
ditulis dalam media yang sangat sederhana, seperti: tulang, batu, pelepah daun
kurma, kulit binatang, dan lain-lain. Sehingga pada masa khalifah Usman bin
‘Affan ra. Al-Qur’an dikodifikasi dalam bentuk mushaf, kekuatan hafalanlah yang
menjadi satu unsur terpenting dalam menjaga kemurnian dan keotentikan
Al-Qur’an. Singkatnya, kemurnian dan keotentikan Al-Qur’an terletak pada
kemu’jizatan Al-Qur’an yang tidak bisa ditiru oleh siapapun, dan adanya
kekuatan hafalan orang-orang Islam yang juga berperan dalam menjaga
keotentikannya. Sejarahpun telah membuktikannya.
BAB III
TUJUAN DAN FUNGSI
KITAB-KU
1.
Kedudukan
Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan sumber pokok bagi ajaran Islam. Al-Qur’an juga merupakan sumber hukum
yang utama dan pertama dalam Islam. Sebagai sumber pokok ajaran Islam,
Al-Qur’an berisi ajaran-ajaran yang lengkap dan sempurna yang meliputi seluruh
aspek yang dibutuhkan dalam kehidupan umat manusia, terutama umat Islam.
Sebagai sumber hukum, Al-Qur’an telah memberikan tata aturan yang lengkap, ada
yang masih bersifat global (mujmal) dan ada pula yang bersifat detail (tafsil). Al-Qur’an mengatur dengan disertai
konsekuensi-konsekuensi demi terciptanya tatanan kehidupan manusia yang
teratur, harmonis, bahagia dan sejahtera, baik lahir maupun batin.
Agar
manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya, maka hendaknya
manusia selalu berpegang teguh kepada prinsip dasar ajaran dan kaidah-kaidah
hukum yang bersumber dari Al-Qur’an sebagai sumber utamanya. Hal ini
sebagaimana tersirat dalam QS. Ali ‘Imrwn ayat 103.
Artinya: “Dan
berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,...” (QS. Ali-‘Imrwn
[3]:103).
Sebagian
ulama’ menafsirkan lafaz حَبْلِ الله dengan Al-Qur’an. Dengan demikian ayat
tersebut mengisyaratkan agar manusia khususnya umat Islam untuk senantiasa
berpegang teguh kepada Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam.
Dalam
QS. an-Nisa ayat 59, Allah Swt juga menegaskan: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-Nisa [4]:59).
Ayat
tersebut terdapat perintah untuk menaati Allah Swt. (اَطِيْعُوا اللهَ), maksudnya adalah menaati ajaran Allah
Swt. yakni Al-Qur’an. Dalam ayat tersebut disiratkan bahwa Al-Qur’an menempati
kedudukan sebagai sumber utama dan pertama dalam rangka menyelesaikan
permasalahan umat Islam. Di samping Al-Qur’an, juga terkandung maksud untuk
mendasarkan pada Hadis/Sunnah Rasulullah Saw. sebagai sumber kedua
setelah Al-Qur’an. Sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam adalah
mengembalikan semua permasalahan kepada sumber pertamanya yaitu Al-Qur’an dan
juga sumber keduanya yaitu Hadis/Sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian,
maka akan tercapai kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak.
2.
Tujuan
dan Fungsi Al-Qur’an
Allah
telah menurunkan Al-Qur’an dengan membawa kebenaran yang hakiki.
Al-Qur’an memiliki beberapa fungsi dan tujuan bagi kehidupan umat manusia,
terutama umat Islam. Di antara tujuan dan fungsi diturunkannya Al-Qur’an oleh
Allah Swt. adalah:
a.
Al-Qur’an sebagai Petunjuk bagi Manusia
Al-Qur’an
telah diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantaraan
malaikat Jibril as. sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan mengikuti petunjuk
Al-Qur’an tersebut, manusia akan mempunyai arah dan tujuan hidup yang jelas
dalam menjalani hidup dan kehidupannya.
Banyak
ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia. Beberapa ayat di antaranya adalah sebagai berikut :
Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya
diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang benar dan yang batil)…” (QS. al-Baqarah [2]:185).
Atau
ayat lain yang lebih khusus menegaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk
bagi manusia yang bertakwa.
Artinya: “Kitab
(Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS. al-Baqarah [2]:2).
Atau
ada pula ayat yang khusus menegaskan bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk
bagi manusia yang beriman.
Artinya: “Dan
sekiranya Al-Qur'an Kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab
niscaya mereka mengatakan, ”Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah
patut (Al-Qur'an) dalam bahasa selain bahasa Arab sedang (rasul), orang Arab?
Katakanlah, ”Al-Qur'an adalah petunjuk dan
penyembuh bagi orang-orang yang beriman... (QS. Fussilat [41]: 44).
Dari
beberapa penjelasan ayat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa salah
satu fungsi terpenting Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi manusia.
Petunjuk-petunjuk Al-Qur’an itu secara garis besar meliputi petunjuk tentang
bagaimana hubungan manusia dengan Allah Swt., manusia dengan sesama manusia dan
bahkan manusia dengan alam sekitarnya. Manusia yang mau mengikuti petunjuk
Al-Qur’an, niscaya akan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
b. Al-Qur’an sebagai
Sumber Pokok Ajaran Islam
Salah satu
fungsi penting Al-Qur’an lainnya adalah sebagai sumber pokok ajaran Islam.
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Al-Qur’anlah yang mula-mula
menjelaskan ajaran yang lengkap dan menyeluruh yang diberikan oleh Allah Swt.
Ajaran-ajaran tersebut ada yang bersifat mujmal, yakni hanya memberikan
prinsip-prinsip umumnya saja, dan ada juga yang bersifat tafsil yakni ajaran yang terperinci dan khusus.
Ajaran
Islam yang bersumber dari Al-Qur’an mutlak kebenarannya dan ajaran yang paling
sempurna. Ajaran Al-Qur’an di samping membenarkan ajaran-ajaran kitab suci
sebelumnya, juga menyempurnakan ajaran kitab-kitab sebelumnya tersebut.
Al-Qur’an berisi tentang pokok-pokok atau dasar-dasar ajaran Islam yang
berkenaan dengan masalah ketauhidan, ibadah, akhlak, hukum, dan segala hal yang
dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
Dalam sebuah
ayat, Allah Swt. menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan membawa kebenaran
hakiki yang berfungsi sebagai dasar penetapan hukum yang harus dipegang teguh
oleh Nabi Muhammad Saw., tidak boleh sedikitpun menyimpang dari Al-Qur’an. Dan
tentunya hal ini juga harus dipegang teguh oleh umat Islam. Sebagaimana
dijelaskan dalam QS. an-Nisw’ ayat 105.
Artinya: “Sungguh, Kami telah
menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang yang berkhianat,” (QS. an-Nisw’[4]: 105).
c. Al-Qur’an sebagai
Peringatan dan Pelajaran bagi Manusia
Sebagai peringatan dan pelajaran bagi manusia maksudnya adalah Al-Qur’an
merupakan kitab suci dengan konsep ajaran yang salah satu ajarannya adalah
berupa sejarah atau kisah umat terdahulu. Dalam kisah-kisah itu dijelaskan bahwa ada di
antara umat manusia sebagian orang-orang yang beriman, taat dan shalih, namun
ada pula sebagian yang lain orang-orang yang kafir, ma’siat dan tidak shalih.
Kepada mereka yang salih, Allah Swt. menjanjikan kebaikan di dunia dan pahala
(surga) di akhirat karena rida-Nya, sebaliknya kepada mereka yang kafir,
durhaka dan tidak shalih, Allah Swt. mengancam dengan ancaman hukuman dan azab
baik di dunia maupun di akhirat. Dan dalam banyak ayat, Allah Swt. membuktikan
janji dan ancamannya tersebut.
Bagi kita,
apa yang dijelaskan dalam kisah umat terdahulu tersebut, dapat kita ambil
pelajaran dan sekaligus peringatan bagi kita untuk pandai mengambil pelajaran
dan meneladani yang baik dan menjauhi yang buruk untuk mencapai kesuksesan dan
kebahagiaan hidup di dunia sampai di akhirat kelak. Allah Swt. berfiman:
Artinya:
“Dan ini
(Al-Qur'an), Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah; membenarkan
kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat tentu
beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan mereka selalu memelihara salatnya”. (QS. al-An’wm [6]: 92).
Dalam ayat
lain, Allah Swt. juga menegaskan tentang fungsi Al-Qur’an sebagai peringatan
dan pelajaran terutama bagi orang-orang yang beriman.
Artinya: “ (Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak
dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi
pelajaran bagi orang yang beriman”. (QS.
Al-A’rwf [7]:2).
Apabila
manusia, terutama umat Islam telah memfungsikan Al-Qur’an dengan cara
menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup, menerapkan dan
melaksanakan segala ajaran Islam sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Qur’an, serta
mengambil pelajaran yang baik dan positif dan meneladaninya dan meninggalkan
yang negatif, niscaya keselamatan, kesuksesan dan kebahagiaanlah yang akan
diperoleh baik di dunia maupun di akhirat. Itulah fungsi dan tujuan
diturunkannya Al-Qur’an.
3.
Perilaku
Orang yang Memfungsikan Al-Qur'an
Perilaku taat kepada Allah Keimanan yang kuat terhadap kitab suci
Al-Qur’an akan mendorong seseorang untuk
taat dan patuh terhadap segala perintah-perintah-Nya dan senatiasa menghindari
apa yang dilarang-Nya, ketaatan itu muncul dari keyakinan bahwa segala yang
dikandung dalam kitab al-Quran adalah benar dan harus dipatuhi oleh umat
manusia.
Selalu
menghindari perbuatan maksiat maksiat artinya berbuat durhaka kepada Allah,
baik dengan cara melanggar larangan-Nya maupun dengan tidak mau melakukan
perintah-perintah-Nya. Tidak ada satupun ayat al-Quran yang menganjurkan
manusia berbuat maksiat ataupun berbuat jahat baik kepada –Nya ataupun kepada
sesama makhluk dan alam lingkungannya. Oleh sebab itu, setiap orang yang
beriman kepada Al-Quran akan senatiasa menjag sikap perilaku dan perbuatannya
dari hal-hal yang berbau maksiat.
Selalu
Berbakti kepada orang tua. Dalam Al-Quran Allah selalu menjelaskan bahwa
manusia mempunyai kewajiban untuk menghormati dan berbakti kepada ayah ibunya,
karena mereka sangat besar jasanya bagi kelangsungan hidup seseorang, tanpa
kebesaran jiwanya, kemuliaan hatinya, tidak mungkin seorang anak dapat bertahan
hidup. Oleh sebab itu, seorang yang beriman kepada al-Quran dan memfungsikannya
tidak mungkin berbuat durhaka dan menyakiti orangtuanya, dalam hati mereka
terdapat keyakinan bahwa mengabaikan dan mendurhakai orangtua akan mendapatkan
murka dari Allah Swt.
Sebagai
bentuk penerapan fungsi Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari kita harus berusaha menjadikan Al-Quran sebagai
petunjuk dan pedoman hidup, sebagai landasan hukum dan etika serta menjadikan
Al-Quran sebagai tempat kembalinya segala persoalan.
BAB IV
POKOK-POKOK ISI KITAB-KU
Isi kandungan Al-Qur’an
itu selanjutnya dapat digali dan dikembangkan menjadi berbagai bidang. Dalam
bab ini akan diuraikan isi kandungan Al-Qur’an secara garis besar yaitu
meliputi :
1.
Akidah
Secara
etimologi akidah berarti kepercayaan atau keyakinan. Bentuk jamak Akidah (‘Aqidah) adalah aqa’id. Akidah juga disebut dengan istilah keimanan.
Orang yang berakidah berarti orang yang beriman (mukmin). Akidah secara
terminologi didefinisikan sebagai suatu kepercayaan yang harus diyakini dengan
sepenuh hati, dinyatakan dengan lisan dan dimanifestasikan dalam bentuk amal
perbuatan. Akidah Islam adalah
keyakinan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis.
Seorang yang menyatakan diri berakidah Islam tidak hanya cukup mempercayai dan
meyakini keyakinan dalam hatinya, tetapi harus menyatakannya dengan lisan dan
harus mewujudkannya dalam bentuk amal perbuatan (amal shalih) dalam
kehidupannya sehari-hari.
Inti pokok
ajaran akidah adalah masalah tauhid, yakni keyakinan bahwa Allah Maha
Esa. Setiap muslim wajib meyakini ke-Maha Esa-an Allah. Orang yang tidak
meyakini ke-Maha Esa-an Allah berarti ia kafir, dan apabila meyakini
adanya Tuhan selain Allah dinamakan musyrik. Dalam akidah Islam, di
samping kewajiban untuk meyakini bahwa Allah itu Esa, juga ada kewajiban untuk
meyakini rukun-rukun iman yang lain. Tidak dibenarkan apabila seseorang yang
mengaku berakidah/beriman apabila dia hanya mengimani Allah saja, atau meyakini
sebagian dari rukun iman saja. Rukun iman yang wajib diyakini tersebut adalah:
iman kepada Allah Swt, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada
kitab-kitab Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada hari akhir, dan
iman kepada qaia’ dan qadar.
Al-Qur’an
banyak menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran akidah yang terkandung di
dalamnya, di antaranya adalah sebagai berikut :
a.
(QS. al-Ikhlas [112]: 1-4):
1. Katakanlah
(Muhammad), ”Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah tempat meminta segala sesuatu.
3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan.
4. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
b. (QS. al-Baqarah [2]: 163)
Artinya: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang
Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
c. (QS. al-Baqarah [2]: 285)
Artinya: “Rasul (Muhammad) beriman kepada apa
yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an)
dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ”Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan
mereka berkata, ”Kami dengar dan kami taat.
Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.”
2.
Ibadah
dan Muamalah
Ibadah
berasal dari kataعِبَادَةً /عَبَدَ – يَعْبُدُ – عَبْدًا artinya mengabdi atau menyembah. Yang
dimaksud ibadah adalah menyembah atau mengabdi sepenuhnya kepada Allah Swt.
dengan tunduk, taat dan patuh kepada-Nya. Ibadah merupakan bentuk kepatuhan dan
ketundukan yang ditimbulkan oleh perasaan yakin terhadap kebesaran Allah Swt.,
sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Karena keyakinan bahwa Allah
Swt. mempunyai kekuasaan mutlak.
Dalam
Al-Qur’an dijelaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain adalah
untuk beribadah kepada Allah Swt. Firman Allah Swt:
Artinya: “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. ak- jwriywt [51] : 56)
Manusia
harus menyadari bahwa dirinya ada karena diciptakan oleh Allah Swt., oleh sebab
itu manusia harus sadar bahwa dia membutuhkan Allah Swt. Dan kebutuhan terhadap
Allah itu diwujudkan dengan bentuk beribadah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya
manusia menyembah dan meminta pertolongan. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan.” (QS. al-Fwtihah [1]: 5)
Ibadah
dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : ibadah mahiah dan ghairu mahiah. Ibadah mahiah artinya ibadah khusus yang tata caranya sudah
ditentukan, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ghairu
mahiah artinya ibadah yang bersifat umum, tata
caranya tidak ditentukan secara khusus, yang bertujuan untuk mencari ridha
Allah Swt., misalnya: silaturrahim, bekerja mencari rizki yang halal diniati
ibadah, belajar untuk menuntut ilmu, dan sebagainya.
Selain
beribadah kepada Allah Swt. karena kesadaran manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah Swt., manusia juga memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama manusia
lainnya. Maka Al-Qur’an tidak hanya memberikan ajaran tentang ibadah sebagai
wujud kebutuhan manusia terhadap Allah Swt. (حَبْلٌ مِنَ اللهِ), tetapi juga mengatur bagaimana memenuhi
kebutuhan dalam hubungannya dengan manusia lain (حَبْلٌ مِنَ النَّاسِ). Misalnya: sillaturrahim, jual beli,
hutang piutang, sewa menyewa, dan kegiatan lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Kegiatan dalam hubungan antar manusia ini disebut dengan mu’amalah.
Dalam
Al-Qur’an banyak ditemukan ajaran tentang tata cara bermu’amalah, antara
lain:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan
utang piutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar....” (QS.
al-Baqarah [2]: 282)
3.
Akhlak
Akhlak
(اَخْلاَقٌ) ditinjau dari
segi etimologi merupakan bentuk jama’ dari kata (خُلُق) yang berarti perangai, tingkah laku, tabiat, atau budi
pekerti. Dalam
pengertian terminologis, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia
yang muncul spontan dalam tingkah laku hidup sehari-hari.
Dalam
konsep bahasa Indonesia, akhlak semakna dengan istilah etika atau moral. Akhlak
merupakan satu fundamen penting dalam ajaran Islam, sehingga Rasulullah Saw.
menegaskan dalam sebuah hadis bahwa tujuan diutusnya beliau adalah untuk
memperbaiki dan menyempurnakan akhlak mulia.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ )رواه احمد(
“Dari
Abu Hurairah berkata; Rasulullah Saw. bersabda: "Bahwasanya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR.
Ahmad)
Nabi Muhammad Saw. adalah model dan suri
tauladan bagi umat dalam bertingkah laku dengan akhlak mulia (karimah).
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran tentang akhlak mulia itu. Dan beliau
merupakan manusia yang dapat menerapkan ajaran akhlak dari Al-Qur’an tersebut
menjadi kepribadian beliau. Sehingga wajarlah ketika Aisyah Ra. ditanya oleh
seorang sahabat tentang akhlak beliau, lalu Aisyah ra. menjawab dengan
menyatakan كَانَ
خُلُقُهُ الْقُرْءَانُ (akhlak beliau adalah Al-Qur’an).
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menyatakan tentang ajaran akhlak Nabi Muhammad Saw. antara lain
adalah :
a.
Atinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi
pekerti yang luhur.” (QS. al-Qalam [68]:
4).
b.
Artinya:“Sungguh, telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21)
4.
Hukum
Hukum
sebagai salah satu isi pokok ajaran Al-Qur’an berisi kaidah-kaidah dan
ketentuan-ketentuan dasar dan menyeluruh bagi umat manusia. Tujuannya adalah
untuk memberikan pedoman kepada umat manusia agar kehidupannya menjadi adil,
aman, tenteram, teratur, sejahtera, bahagia, dan selamat di dunia maupun di
akhirat kelak.
Sebagai
sumber hukum ajaran Islam, Al-Qur’an banyak memberikan ketentuan-ketentuan
hukum yang harus dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum baik secara global (mujmal)
maupun terperinci (tafsil). Beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi
ketentuan hukum antara lain adalah :
a.
Artinya:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab
(Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang yang berkhianat” (QS. an-Nisa’ [4]: 105)
b.
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. al-Mwidah [5]: 90)
Ketentuan-ketentuan
hukum lain yang dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah meliputi :
a. Hukum perkawinan, antara lain dijelaskan dalam
QS. al-Baqarah: 221; QS. al-Maidah: 5; QS.an-Nisw’: 22-24; QS.an-Nur: 2; QS.
al-Mumtahanah:10-11.
b. Hukum waris, antara lain dijelaskan dalam QS.
an-Nisw’: 7-12 dan 176, QS. al-Baqarah:180; QS. al-Mwidah:106
c. Hukum perjanjian, antara lain dijelaskan dalam
QS. al-Baqarah: 279, 280 dan 282; QS. al-Anfal: 56 dan 58; QS. at-Taubah: 4
d. Hukum pidana, antara lain dijelaskan dalam QS.
al-Baqarah: 178; QS. an-Nisw’: 92 dan 93; QS. al-Mwidah: 38; QS. Yynus: 27; QS. al-Isrw’: 33; QS. asy-Syu’ara: 40
e. Hukum perang, antara lain dijelaskan dalam QS.
al-Baqarah: 190-193; QS. al-Anfal: 39 dan 41; QS. at-Taubah: 5,29 dan 123, QS.
al-Hajj: 39 dan 40
f.
Hukum antarbangsa, antara lain dijelaskan dalam QS. al-Hujurwt: 13
5.
Sejarah
/ Kisah Umat Masa Lalu
Al-Qur’an
sebagai kitab suci bagi umat Islam banyak menjelaskan tentang sejarah atau
kisah umat pada masa lalu. Sejarah atau kisah-kisah tersebut bukan hanya
sekedar cerita atau dongeng semata, tetapi dimaksudkan untuk menjadi ‘ibrah
(pelajaran) bagi umat Islam. Ibrah tersebut kemudian dapat dijadikan dapat
menjadi petunjuk untuk dapat menjalani kehidupan agar senantiasa sesuai dengan
petunjuk dan keridhaan Allah Swt.
Artinya: "Sungguh,
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.
(Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai)
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yysuf [12]: 111).
Al-Qur’an telah banyak menggambarkan umat-umat terdahulu
baik yang iman dan taat kepada Allah Swt. maupun yang ingkar dan ma’siat
kepada-Nya. Diharapkan dengan memperhatikan kisah umat terdahulu, umat Islam
bisa mencontoh umat-umat yang taat kepada Allah Swt. dan menghindari perbuatan
ma’siat kepada-Nya. Bagi umat yang beriman dan taat kepada Allah Swt., Allah
Swt. telah memberikan kebaikan dan keberkahan dalam hidup mereka, sebaliknya
bagi yang ingkar dan ma’siat kepada-Nya, Allah Swt telah memberikan azab-Nya.
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang sejarah atau kisah umat terdahulu antara
lain :
Artinya:
37. “Dan
(telah Kami binasakan) kaum Nuh ketika mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkam mereka dan Kami jadikan
(cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah sediakan bagi
orang-orang zalim azab yang pedih;
38. dan (telah Kami binasakan) kaum ‘Ad
dan Samūd dan penduduk Rass serta banyak (lagi) generasi di antara (kaum-kaum)
itu.
39. Dan masing-masing telah Kami jadikan
perumpamaan dan masing-masing telah Kami hancurkan sehancur-hancurnya.”
(QS. al-Furqan [25]:
37-39)
6.
Dasar-dasar
Ilmu Pengetahuan (Sains) Dan Teknologi
Al-Qur’an
adalah kitab suci ilmiah. Banyak ayat yang memberikan isyarat-isyarat ilmu
pengetahuan (sains) dan teknologi yang bersifat potensial untuk kemudian
dapat dikembangkan guna kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Allah
Swt. yang Maha memberi ilmu telah mengajarkan kepada umat manusia untuk dapat
menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Al-Qur’an
menekankan betapa pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu
diisyaratkan pada saat ayat Al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. yaitu QS. al-‘Alaq: 1-5 :
Artinya:
1.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
4. Yang
mengajar (manusia) dengan pena.
5. Dia mengajarkan manusia apa
yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5)
Ayat yang
pertama kali diturunkan tersebut diawali dengan perintah untuk membaca. Membaca
adalah satu faktor terpenting dalam proses belajar untuk menguasai suatu ilmu
pengetahuan. Ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya
membaca dalam upaya mencari dan menguasai ilmu pengetahuan.
Ayat lain
yang berisi dorongan untuk menguasai ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam QS.
al-Mujwdilah ayat 11.
Artinya: “….niscaya
Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang
kamu kerjakan..” (QS. al-Mujwdilah/58: 11).
Al-Qur’an banyak mendorong umat manusia untuk menggali, meneliti dan
mengembangkan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan
dan kesejahteraan hidupnya. Isyarat-isyarat ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut diantara berkenaan dengan ilmu kedokteran, farmasi, pertanian,
matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu anatomi tubuh, teknologi perkepalan,
teknologi pesawat terbang, dan lain sebagainya.
Hal
penting untuk diingat bahwa dalam kurun waktu sejarah umat manusia, Islam telah
melahirkan banyak cendekiawan muslim yang telah berhasil menemukan berbagai
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkat ketelitian mereka dalam menggali
isyarat ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an. Di antara cendekiawan-cendekiawan
muslim tersebut ialah: Ibnu Rusyd, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih,
Al-Khawarizmi, dan lain-lain. Bahkan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang
mereka hasilkan telah banyak mengilhami bangsa barat dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang berkembang hingga saat ini.
7.
Perilaku
Orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai Pedoman dalam Kehidupan Sehari-hari.
Al-Qur`an
adalah wahyu Allah terakhir kepada umat manusia. Kitab suci ini mengandung
semua kunci untuk membuka pengetahuan Allah yang tidak terbatas (Q.S. Al-Kahfi
[18]:109). Al-Qur`an adalah petunjuk Allah bagi orang yang bertakwa dan tidak ada
keraguan di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 2).
Orang
yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hidupnya selalu mempelajari
Al-Qur’an. Dengan mempelajari Al-Quran, seseorang akan terlepas dari kebodohan
dan kesesatan dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan Al-Quran, hati akan lembut
dan terhindar dari penyakit-penyakit hati atau ruhani. Dada akan senantiasa
lapang dan luas dalam menerima petunjuk-petunjuk dan titah-titah ketuhanan.
Akal pikiran menjadi cerdas dan terbebas dari kesesatan berpikir picik dan
dangkal. Perilaku akan terhindar dari gerak jiwa yang dapat mendatangkan petaka
dan kerugian bagi diri, orang lain maupun linkungannya. Seluruh aktivitas diri
akan senantiasa terarah dari dan menuju kebenaran. Rasulullah Saw. bersabda : “Sebaik-baik
manusia adalah siapa yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya kepada orang
lain”. (H.R. Bukhari dari Usman ibn `Affan Ra).
Al-Qur’an
merupakan jaring yang ditebarkan oleh Yang Maha Tunggal untuk menarik kaum pria
dan wanita yang tersesat di dalam dunia ini agar kembali kepada sumber Ilahi
mereka. Al-Qur`an adalah peta dan petunjuk kehidupan. Hidup dalam sinaran
petunjuk Al-Qur’an dan mematuhi ketentuan-ketentuannya merupakan kunci untuk
mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk
bisa hidup dalam sinaran petunjuk Al-Quran, manusia haruslah melakukan iqra’.
Iqra` terambil dari akar kata qara`a yang berarti
“menghimpun”, sehingga tidak harus
selalu diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”. Dari “menghimpun” lahir aneka ragam makna,
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu ,
dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Melakukan
iqra` terhadap Al-Quran berarti kita melakukan aktivitas membaca,
menelaah, menganalisa, memahami, mendalami, menyelami, mengamalkan dan
mengambil hikmah dalam kehidupan. Aktivitas ini merupakan perpaduan antara
kinerja qalbu (hati) dan akal.
Membaca teks Al-Quran
adalah aktivitas awal dan fondasi awal dalam melakukan iqra`. Aktivitas
ini meliputi mengenal huruf Al-Qur’an dan cara mengucapkannya; cara membacanya,
memanjangkan yang seharusnya dibaca panjang dan memendekkan yang seharusnya
dibaca pendek (tajwid Al-Qur’an).
Aktivitas
membaca teks yang sudah benar mengantarkan pembacanya untuk tahapan selanjutnya
yaitu menelaah, memahami, menganalisa, dan mendalami Al-Quran. Aktivitas ini
dimulai dengan mempelajari makna kata-kata Al-Quran, atau apa yang biasa
disebut dengan belajar tarjamah Al-Quran. Setelah mengerti makna tiap-tiap kata
dari ayat Al-Quran, maka langkah selanjutnya adalah mencoba menafsirkankan
dengan bantuan atau rujukan kepada kitab-kitab tafsir yang ada sebagai upaya
dari proses “menelaah, memahami, menganalisa, dan mendalami” Al-Qur’an.
Setelah
proses pertama dan kedua selesai, maka proses ketiga adalah mengamalkan dan
menjadikannya akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Proses ini sering disebut
sebagai upaya untuk “membumikan” Al-Quran. Al-Quran tidak lagi hanya kumpulan
teks atau firman Tuhan yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah, tetapi merupakan
sumber inspirasi dan pedoman hidup manusia dalam mengarungi kehidupan mereka.
Al-Quran tidak lagi hanya sebagai ajaran yang melangit tetapi sudah membumi
lewat umat Islam yang akhlak dan perilakunya sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.
BAB
V
MANUSIA SEBAGAI HAMBA
ALLAH DAN KHALIFAH DI BUMI
A. 1). QS. al-Mu’minyn [23] ayat 12-14
a. Terjemah
ayat
12. Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia
dari saripati (berasal) dari tanah.
13. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang
melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian,
Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. al-Mu’minyn [23] : 12-14.
b. Penjelasan Ayat
QS. al-Mu’minyn ini menerangkan tentang proses penciptaan manusia yang
sangat unik. Proses penciptaan manusia diuraikan mulai unsur pertamanya, proses
perkembangan dan pertumbuhannya di dalam rahim, sehingga menjadi makhluk yang
sempurna dan siap lahir menjadi seorang anak manusia.
Pada ayat 12, Allah
SWT. menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari sari pati yang berasal dari
tanah (سُلاَلَةٍ مِنْ
طِيْنٍ). Selanjutnya,
pada ayat 13, dengan kekuasaan-Nya saripati yang berasal dari tanah itu
dijadikan-Nya menjadi nuhfah
(air mani). Dalam istilah biologi, air mani seorang laki-laki disebut sel
sperma dan air mani wanita disebut sel telur (ovum). Ketika keduanya
bertemu dalam proses konsepsi atau pembuahan, maka kemudian tersimpan dalam
tempat yang kokoh yaitu rahim seorang wanita.
Selanjutnya, pada
ayat 14 dijelaskan ketika berada di dalam rahim seorang wanita tersebut, selama
kurun waktu tertentu (40 hari) nuhfah tersebut berkembang menjadi ’alaqah
(segumpal darah), kemudian dalam kurun waktu tertentu pula (40 hari) ’alaqah
berubah menjadi muigah (segumpal daging), lalu selama kurun waktu
tertentu (40 hari) berubah menjadi tulang-belulang yang terbungkus daging, dan
akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi anak manusia, sebagaimana disebutkan
dalam ayat tersebut (”kemudian Kami menjadikan dia makhluk yang berbentuk
lain”).
Dalam teori biologi,
dijelaskan bahwa manusia berasal dari pertemuan antara sperma seorang laki-laki
dengan sel telur (ovum) seorang wanita yang berlangsung di dalam saluran
oviduc pada saat ovulasi pada tubuh seorang wanita yang kemudian disebut
dengan pembuahan. Kemudian akan
dihasilkan zygot yang bergerak ke dalam rahim lalu menempel pada dinding
rahim. Di dalam rahim, zygot akan berkembang menjadi embrio
kemudian menjadi janin. Dalam perkembangan berikutnya, janin siap lahir setelah
melalui masa tertentu. Selama di dalam rahim sampai lahir, asupan makanan
diperoleh melalui saluran yang menempel pada dinding rahim yang disebut plasenta.
Gambaran yang demikian telah dijelaskan dalam ayat-ayat tersebut.
Sebagai penguatan
terhadap penjelasan tersebut, Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis beliau
menjelaskan :
عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَّلَ بِالرَّحِمِ مَلَكًا يَقُولُ يَا رَبِّ نُطْفَةٌ
يَا رَبِّ عَلَقَةٌ يَا رَبِّ مُضْغَةٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقْضِيَ خَلْقَهُ
قَالَ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى شَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ فَمَا الرِّزْقُ وَالْأَجَلُ
فَيُكْتَبُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ (رواه
البخاري)
Dari Anas bin Malik dari Nabi Saw, beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menugaskan satu Malaikat dalam rahim seseorang.
Malaikat itu berkata, 'Ya Rabb, (sekarang baru) sperma. Ya Rabb, segumpal
darah!, Ya Rabb, segumpal daging! ' Maka apabila Allah berkehendak menetapkan
ciptaan-Nya, Malaikat itu bertanya, 'Apakah laki-laki atau wanita, celaka atau
bahagia, bagaimana dengan rizki dan ajalnya? ' Maka ditetapkanlah ketentuan
takdirnya selagi berada dalam perut ibunya." (HR. Bukhari)
Yang menjadi sangat menakjubkan adalah bahwa ketika
Al-Qur’an diturunkan, pemahaman manusia terhadap proses kejadian manusia masih
belum sampai pada penggambaran yang sangat detail seperti yang digambarkan
ayat-ayat tersebut. Namun, Al-Qur’an menggambarkannya dengan sedemikian detail
dan gamblang. Bahkan Rasulullah Saw. yang dikenal sebagai seorang Nabi yang ummi,
justru bisa menjelaskan dalam hadis di atas. Dan dalam era perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, semua yang digambarkan dalam ayat Al-Qur’an dan
kemudian dijelaskan lebih detail lagi oleh Nabi Muhammad Saw. ternyata semuanya
terbukti benar. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah
Swt. Apa yang dikandung di dalamnya adalah kebenaran hakiki dan bersifat mutlak
(absolut).
2). QS al-Nahl [16]:78
a.
Terjemah ayat
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
pun, dan Dia memberimu pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.( QS. An-Nahl [16]: 78)
b. Penjelasan Ayat
Ayat 78 surah an-Nahl
ini masih erat kaitannya dengan surah al-Mu’minun ayat 12-14 sebagaimana
dijelaskan di atas. Pada ayat ini, Allah Swt. menegaskan bahwa ketika seorang
anak manusia dilahirkan ke dunia, dia tidak tahu apa-apa. Dengan kekuasaan dan
kasih sayang-Nya, Allah Swt. membekalinya dengan atribut pelengkap yang
nantinya dapat berfungsi untuk mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak
pernah diketahui. Atribut-atribut tersebut ialah berupa tiga unsur penting
dalam proses pembelajaran bagi manusia, yakni: pendengaran, penglihatan dan
hati/akal pikiran.
Yang menarik untuk
ditelaah, bahwa ternyata pendengaran adalah unsur penting yang pertama kali
digunakan bagi orang yang belajar guna memahami segala sesuatu. Menurut sebuah
teori penemuan modern, bayi yang masih dalam kandungan bisa menangkap pesan
yang disampaikan dari luar dan ia sangat peka. Maka ada ahli yang menyarankan
agar anak nantinya berkembang dengan kecerdasan tinggi dan kehalusan budi,
hendaknya selama di dalam kandungan ia sering diperdengarkan musik klasik dan
irama-irama yang lembut. Atau kalau dalam konteks Islam, hendaknya bayi dalam
kandungan sering diperdengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, kalimah-kalimah
thayyibah. Karena diyakini bahwa sang bayi dapat menangkap pesan menlalui
pendengaran itu.
Dalam proses memahami
dan mempelajari segala sesuatu, manusia menangkapnya dengan pendengaran,
diperkuat dengan penglihatan dan akhirnya disimpan dalam hati sebagai ilmu
pengetahuan.
Akhirnya setelah
manusia menyadari bahwa dahulu ketika lahir tidak satupun yang bisa diketahui,
kemudian atas kemurahan Allah Swt. yang telah memberikan pendengaran,
penglihatan dan hati/akal pikiran, manusia bisa mengetahui segala sesuatu dalam
hidupnya. Puncaknya, kesadaran tersebut sudah seharusnya mendorong rasa
bersyukur yang teramat besar kepada yang telah berkuasa memberikan itu semua.
Oleh karena itu, pada akhir ayat, Allah Swt. menegaskan bahwa itu semua
diberikan kepada manusia agar manusia mau bersyukur kepada-Nya. Rasa syukur itu
kemudian harus diwujudkan dengan pengakuan, ketundukan, ketaatan, kepatuhan
yang diekspresikan dalam bentuk keimanan dan direalisasikan dalam bentuk
beribadah kepada-Nya. Dia-lah Allah Swt. jat yang Maha Pencipta, jat yang Maha
Pemurah, jat yang Maha Kuasa, jat yang Maha Besar dan jat yang berhak disembah
oleh sekalian makhluk.
3). QS al-Baqarah [2]: 30 -32
a.
Terjemah ayat
30. Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ”Aku
hendak menjadikan khalifah di
bumi.” Mereka berkata, ”Apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, ”Sungguh,
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
31. Dan
Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya
berfirman, ”Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini,
jika kamu yang benar!”
32. Mereka menjawab, ”Mahasuci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui,
Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 30-32)
b. Penjelasan Ayat
Dalam ayat 30 surah
al-Baqarah ini, disampaikan informasi bahwa sebelum Allah Swt. menciptakan
manusia pertama yakni Adam as. hal tersebut sudah disampaikan kepada para
malaikat. Diilustrasikan dalam ayat tersebut, terjadi dialog antara Allah Swt.
dengan malaikat. Allah Swt. menyampaikan kepada para malaikat bahwa Allah Swt.
hendak menjadikan khalifah di muka bumi yaitu manusia. Apakah yang
dimaksud khalifah itu? Khalifah berarti pengganti, yang menggantikan atau
yang datang sesudah siapa yang datang. Ulama’ ada yang mengartikan bahwa
khalifah ialah yang menggantikan Allah Swt. dalam menegakkan hukum-hukum-Nya di
muka bumi. Allah Swt. menunjuk manusia sebagai khalifah merupakan penghormatan
kepadanya karena kelebihannya dibandingkan makhluk selain manusia, tidak
terkecuali malaikat. Dengan menunjuk manusia sebagai khalifah, Allah Swt. juga
bermaksud mengujinya sejauh mana manusia bisa melaksanakan amanah sebagai
khalifah Allah Swt. di muka bumi.
Ketika Allah Swt.
menyampaikan rencana tersebut, malaikat menyampaikan ”Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Bila dikaji
dengan baik, pernyataan malaikat tersebut bukan pertanda keberatan atas rencana
Allah Swt. tersebut. Perlu diingat bahwa malaikat adalah makhluk yang sangat
taat dan patuh terhadap Allah Swt., tidak mungkin malaikat menentang dan
mendurhakai-Nya, termasuk terhadap rencana menjadikan khalifah di muka bumi
ini. Namun demikian, pertanyaan malaikat tersebut dapat diasumsikan beberapa
hal. Pertama, bisa jadi hal itu berdasarkan pengalaman mereka sebelum
terciptanya manusia dimana ada makhluk yang berlaku merusak dan menumpahkan
darah. Kedua, atau bisa juga malaikat menduga bahwa karena yang akan
ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka tentunya makhluk ini berbeda
dengan mereka yang senantiasa bertasbih dan memuji Allah Swt. Ketiga,
bisa juga karena dari penamaan Allah Swt. terhadap makhluk yang akan diciptakan
dengan sebutan khalifah. Kata khalifah ini mengisyaratkan pelerai perselisihan
dan penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada diantara mereka yang
berbuat kerusakan, perselisihan dan pertumpahan darah. Wallahu a’lam.
Tetapi, apapun latar belakang pertanyaan malaikat tersebut, yang pasti malaikat
hanya bertanya kepada Allah Swt. bukan menunjukkan keberatan terhadap rencana
Allah Swt.
Kemudian dalam ayat
tersebut, diketahui bahwa pertanyaan malaikat itu dijawab singkat oleh Allah
Swt.: ”Sesungguhnya Aku (Allah) mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”.
Jawaban Allah Swt. tersebut juga diperkuat bahwa manusia memang layak ditugasi
sebagai khalifah di muka bumi karena kelebihan manusia jika dibandingkan
makhluk lain termasuk malaikat. Kelebihan yang sangat nyata adalah kelengkapan
unsur penciptaan manusia, yaitu jasad fisik, ruh termasuk di dalamnya nafsu,
dan yang terpenting kelebihan akal pikiran yang dikaruniakan Allah Swt. kepada
manusia.
Dalam ayat
selanjutnya, ayat 31-32, Allah Swt. menyatakan kelebihan manusia dibandingkan
makhluk lainnya.
4). QS al - jariyat [51]: 56
a. Terjemah ayat
Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. ak-jariyat [51]:
56)
b. Penjelasan Ayat
Allah menegaskan
dalam QS. ak-jariyat
ayat 56 bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tidak lain adalah untuk
beribadah kepada-Nya. Beribadah dalam arti menyembah, mengabdi, menghamba,
tunduk, tata dan patuh terhadap segala yang dikehendaki-Nya. Ketundukan,
ketaatan dan kepatuhan dalam kerangka ibadah tersebut harus menyeluruh dan
total, baik lahir maupun batin. Tujuan ibadah adalah untuk mencari riia Allah
Swt.
Secara garis besar,
ibadah dapat dibedakan menjadi dua yaitu: ibadah mahiah yakni ibadah
yang telah ditetapkan ketentuan pelaksanaannya, seperti: shalat, puasa, zakat
dan haji; dan ibadah ghairu mahiah yakni ibadah yang belum
ditetapkan ketentuan secara khusus dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, ibadah
melalui menyantuni fakir miskin, berbuat baik, dan hal-hal lain dalam bentuk mu’amalah.
Ibadah merupakan
bukti rasa syukur manusia kepada Allah Swt. yang telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baik bentuk dan yang dengan kemurahan-Nya Allah Swt. memberikan
fasilitas hidup. Sikap tersebut sudah seharusnya dimiliki oleh setiap manusia,
apabila manusia mempunyai kesadaran akan hak itu. Lain halnya apabila manusia
tidak mempunyai kesadaran untuk mensyukuri segala yang telah diberikan oleh
Allah Swt., maka ia akan menjadi manusia yang tidak mau tunduk, tidak mau taat
dan mengingkari Allah Swt. dengan tidak mau beribadah kepada-Nya.
Rasulullah Saw.
sebagai teladan kita telah mengajarkan bahwa ibadah bukan saja kewajiban tetapi
kebutuhan kita untuk berteima kasih ataupun bersyukur kepada Allah Swt. Dalam
sebuah hadis beliau bersabda :
سَمِعْتُ الْمُغِيرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَقُومُ لِيُصَلِّيَ حَتَّى تَرِمُ قَدَمَاهُ أَوْ سَاقَاهُ فَيُقَالُ لَهُ فَيَقُولُ أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا (رواه البخاري)
Aku mendengar Al Mughirah ra. berkata; "Ketika
Nabi Saw bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga tampak bengkak pada kaki
atau betis, Beliau dimintai keterangan tentangnya. Maka Beliau menjawab:
"Apakah memang tidak sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?"
(HR.Bukhari)
B. Perilaku sebagai Hamba Allah dan
Khalifah di Bumi
Sebelum kalian menerapkan perilaku sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi
sebagai implementasi QS al- Mu’minun [23]:12-14;
QS al-Nahl [16]:78; QS al-Baqarah [2]:30-32; dan QS al-jariyat
[51]: 56, terlebih dahulu kalian
harus membiasakan membaca Al-Qur’an setiap hari.
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan
pengamalan QS al- Mu’minyn [23]:12-14 sebagai berikut.
1.
Selalu
sadar diri bahwa kita diciptakan dari sesuatu yang hina.
2.
Senatiasa
mengakui kemahakuasaan Allah yang telah menjadikan kita dari sesuatu yang hina
tersebut.
3.
Senantiasa
bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan kita sebaik-baik bentuk
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan pengamalan
QS al-Nahl [16]:78 sebagai berikut.
1.
Senantiasa
mengakui kebesaran Allah yang telah menganugerahi kita pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani.
2.
Selalu
bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang telah diberikan kepada kita berupa
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan
pengamalan QS al-Baqarah [2]:30-32 sebagai berikut.
1.
Senantiasa
mendiskusikan segala sesuatu dengan yang lain sebelum diputuskan untuk
melakukannya.
2.
Senantiasa
menerima dengan lapang dada kelebihan yang lain atas dirinya.
Sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai pengahayatan dan
pengamalan QS al-jariyat [51]:
56 sebagai berikut.
1.
Selalu
beribadah hanya kepada Allah baik dalam artian sempit maupun luas.
2.
Senantiasa
mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan kepada kita yang dimanifestasikan
dengan beribadah kepada-Nya.
Sumber : Rosidin, Mukarom Faisal. dkk. 2013. AL-QUR’AN HADIS Untuk Kelas X Madrasah Aliyah IPA, IPS, Bahasa. Bandung: KEMENTERIAN
AGAMA RI.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB I AL-QUR’AN KITAB-KU A. Pengertian Al-Qur’an Para ulama’ dan pakar/ahli dalam bidang ilmu Al-Qur’an telah mendefinisikan...